BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Deskripsi
dan eksplanasi kerap dipersamakan, padahal keduanya memiliki perbedaan.
Deskripsi merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa
Sejarah, meliputi apa (what), dimana (where), kapan (when), dan siapa (who).
Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual tentang sebuah
peristiwa.
Di sisi
lain, eksplanasi merupakan perluasan pertanyaan faktual untuk mengetahui alasan
dan jalannya sebuah peristiwa. Mengapa (why) dan
bagaimana (how) merupakan pertanyaan analisis-kritis yang juga
menuntut jawaban analisis-kritis yang bermuara pada penjelasan atau sintesis
sejarah. Dalam kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi dibangun atas
deskripsi-deskripsi faktual karena eksplanasi tanpa deskripsi adalah fantasi.
Ekspalansi sejarah
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodolgi sejarah. Hal ini
dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan
hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada.
Ucapan mengenai fakta-fakta historis
merupakan deskripsi-deskripsi mengenai masa silam. Tetapi, seorang ahli sejarah
tidak membatasi diri pada usaha melukiskan masa silam, ia juga berusaha
memikirkan suatu keterangan atau penjelasan yang masuk akal, mengenai apa yang
terjadi pada masa silam. Secara prinsip pertanyaan itu harus di beri
jawaban secara objektif dan yang masuk akal.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka
rumusan masalah dapat diketahui sebagai berikut:
1) Bagaimana
hakekat dari Eksplanasi Sejarah ?
2) Bagaimana
periodisasi atau pembabakan dalam sejarah ?
3) Bagaimana
model-model dari Eksplanasi Sejarah ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui
tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
1)
Mengetahui
hakekat dari Eksplanasi Sejarah;
2)
Memahami
bagaimana periodisasi atau pembabakan dalam sejarah;
3)
Mengetahui
dan memahami model-model dari Eksplanasi Sejarah.
1.4 Manfaat Penulisan makalah
Makalah ini disusun dengan harapan
memberikan manfaat baik berupa tambahan pengetahuan serta wawasan kepada
pembaca tentang “Pandangan dan Pemikiran Filsafat Sejarah Kritis Mengenai Eksplanasi
Sejarah”,
dan juga semoga memberikan manfaat bagi penulis sendiri.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Hakekat Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi adalah suatu proses yang
menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
lain melalui penggunaan yang tepat pernyataan-pernyataan yang
bersifat umum (general statements). Arti
penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang
sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Penjelasan sejarah ialah usaha membuat unit sejarah
intelligible (dimengerti secara cerdas). Kata “analisis ” memang juga dipakai
secara bergantian dengan “penjelasan”, di antaranya oleh Marc Bloch, terutama
ketika orang menganalisis hubungan kausal antara gejala sejarah. Akan tetapi,
karena kata “penjelasan” lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan
kata “analisis” tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka di
sini dipakai kata “penjelasan”.
Eksplanasi sejarah merupakan kegiatan yang
menghubungkan atau mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya melalui
penggunaan pernyataan yang tepat dan bersifat umum. Berangkat dari penjelasan
umum tersebut maka dilanjutkan dengan penjelasan ilmiah dan penjelasan
sejarah. Penjelasan ilmiah dimulai dengan observasi (pengamatan), berakhir
dengan konsep-konsep umum (generalisasi), dimana gejala dilihat sebagai dalam
kerangka suatu penegakan generalisasi. Sedangkan penjelasan dalam sejarah
berupaya untk menyelami apa yang ada di dalam suatu peristiwa ( dapat
menghayati peristiwa sebenarnya dari dalam). Bagian dalam suatu peristiwa
adalah pikiran yang ada dibalik wujud fisik.
Sedangkan bagian luar peristiwa sejarah adalah wujud
fisik atau gerak dari suatu peristiwa. Eksplanasi sejarah terdiri dari
beberapa bagian yaitu konsep, fakta, kontruksi, dan sebab. Konsep adalah
kesimpulan dari gejala-gejala dalam suatu peristiwa sejarah. Fakta adalah suatu
unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen sejarah
dan dianggap credible (dapat
dipercaya). Setelah melalui tahap pengujian sesuai hukum metode sejarah.
Kontruksi adalah pembentukan atau penggambaran suatu peristiwa sejarah.
Sebab terbagi menjadi dua bagian, pertama sebab
langsung dan kedua sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah pemicu peristiwa
sejarah yang dapat diketahui dengan observasi, pengamatan, ataupun perekaman.
Sedangkan sebab tidak langsung merupakan pemicu terjadinya peristiwa sejarah
yang tidak dengan begitu saja dapat dibuktikan namun sebab tidak langsung
inilah yang merupakan bagian terpenting dalam pembentukan fakta sejarah.
Penyusunan fakta sejarah tidak terlepas dari konsep, ketiga hal ini merupakan
bagian terpenting dalam kontruksi sejarah. Ekspalansi sejarah secara
pradikmatikal terdiri atas ekspalandum (ekspalandum), atau pernyataan untuk
memberikan ekspalansi dan eksplans atau perangkat pernyataan untuk memberikan
ekspalansi.
Terdapat dua perangkat masalah yang timbul dalam
tugas eksplanasi, diantaranya sebagai berikut:
1) Masalah
menghubungkan fakta antara satu dengan yang lain. Dalam sosiologi dan
disiplin-disiplin semacam unit-unit analisis yang relasional disebut variabel;
2) Masalah
memahami kaitan antara hal- hal yang saling berhubungan. Disini terlihat, eksistensi
fakta merupakan bahan pokok untuk teori-teori kehidupan sosial.
2.1.1 Deskripsi dan Eksplanasi
Secara tuntas deskripsi dan
keterangan atau eksplanasi tidak dapat di bedakan satu sama
lain. Sebuah laporan faktual mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
bulan Agustus 1914 di Eropa mengenai indikasi mengenai sebab meletusnya perang
dunia I. Laporan itu mengatur fakta-fakta tertentu, dapat memperlihatkan, bahwa
baik mobilisasi tentara Rusia maupun keinginan staf angkatan darat Jerman yang
tidak mau buang waktu, menentukan perkembangan seterunya. Mengingat hal itu,
maka terdapat filsuf-filsuf sejarah yang mengatakan bahwa secara prinsip
mustahil membedakan deskripsi dari keterangan. Menurut mereka, sederetan ucapan
singular sudah mampu menerangkan sesuatu atau mempunyai kemampuan eksplikatif.
Akan tetapi, biasanya para ahli berpendapat bahwa keterangan dan deskripsi
secara hakiki berbeda dari yang lain.
Sementara itu, para sejarawan
berpendapat lain, bahwa eksplanasi dan deskripsi secara hakiki berbeda satu
sama lainnya. Hakekat suatu eksplanasi sejarah selalu berkaitan antar dua
deskripsi mengenai keadaan pada masa silam. Kaitan tersebut selalu berobyek
pada kedua deskripsi, dalam sebuah eksplanasi bukan merupakan suatu deskripsi
mengenai sesuatu dalam kenyataan sejarah. Deskripsi itu merupakan rangkaian
peristiwa dan terdapat unsur akibat yang ditimbulkan. Sejarah adalah ilmu yang
terbuka. Maka sejarawan harus jujur, tidak menyembunyikan data, dan bertanggung
jawab terhadap keabsahan data – datanya.
2.2 Periodisasi atau Pembabakan
Periodisasi adalah konsep sejarawan semata – mata,
suatu produk mental yang hanya ada dalam pikiran sejarawan,
suatu ideal type. Periodisasi
adalah hasil pemikiran kompratif antara satu periode dengan periode lainnya
setelah sejarawan melihat ciri khas suatu kurun sejarah. Periodisasi umumnya
akan membagi sejarah menjadi tiga periode, yaitu Ancient, Middle ,
dan Modern. Untuk sejarah Eropa,
Acient adalah Yunani Romawi, Middle adalah Feodalisme dan Modern adalah Renaisance.
Ada perbedaan bagi setiap aspek sejarah dalam luas
wilayah, rentang waktu dan variasi juga terdapat dalam periodisasi sejarah. Seperti
diketahui bahwa periodisasi sejarah indonesiapun dibagi kedalam tiga bagian
yang biasanya disebut dengan Prasejarah, Hindu-Budha dan Modern. Nekara dari
prasejarah penyebarannya hanya diwaktu tertentu dan tidak merata. Kehidupan
prasejarah masih ada di suku-suku terasing ketika indonesia sudah sampai periode
modern. Kepercayaan yang berasal dari periode hindu-budha masih terdapat sampai
sekarang. Variansi agama juga banyak. Jadi periodisasi bukanlah tutup layar dan
buka layar tetapi ada perbedaan perkembangan aspek sejarah dan ada dickontinuity dan continuity.
Periodesasi dalam histiografi Indonesia semula
bersifat konvensional-prasejarah. Kuno (indianisasi), tengah (islamisasi),
Modern (pembaratan). Baik seluruh atau hanya satu periode. Maka dari itu
periodesasi panjang tidak harus mengenahi satu unit sejarah seluruhnya secara
Konprehensif tetapi bisa salah satu aspeknya. Periodisasi juga tidak harus
panjang, bisa satu sub-aspek yang kecil dibuatnya periodesasinya. Periodesasi
adalah penjelasan sejarah.
2.3 Model – Model
Eksplanasi Sejarah
Model-model dari eksplanasi sejarah sangat
bervariasi, dalam buku Refleksi Sejarah F.R. Ankersmit membagi model-model
eksplanasi sejarah menjadi tiga model, diantaranya adalah Covering Law Model
(CLM), Hermeneutika, dan Kausalitas.
2.3.1 Covering Law Model
(CLM)
a) Hakekat
CLM
Sekalipun istilah CLM dikaitkan dengan
nama dua orang filsuf abad ke-20 ini, yakni Karl Popper dan C.G. Hemple, namun
sebetulnya modul ini lebih tua. David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia
(1712-1776) merumuskan modul pertama mengenai CLM. Pada
abad ke -18 banyak orang terkesan oleh prestasi-prestasi yang telah dicapai
oleh ilmu alam. Maka masuk akal kalau ada ide untuk menerapkan metode-metode
dan penelitian ilmu alam terhadap masyarakat manusia. Ada
pertimbangan-pertimbangan lain yang ikut memainkan peranan. Seperti alam raya
tetap sama, tetap setia terhadap kodratnya, demikian pula kodrat manusia tidak
dapat berubah. Seperti alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian pula
perbuatan-perbuatan manusia tunduk kepada prinsip-prinsip
tertentu yang “konstan dan universal”, demikian tulis Hume. Hume menganjurkan
agar metode-metode yang di gunakan dalam ilmu alam juga diterapkan terhadap
perbuatan manusia. Auguste Comte seorang filsuf dari abad ke-19 (1798-1857)
berpendapat bahwa cara kerja seorang peneliti sejarah harus sama dengan metode
kerja seorang peneliti alam raya. Itulah yang di rumuskan Comte dengan istilah
“Positivisme”. Bila di rumuskan secara umum maka menurut positivisme hanya
terdapat satu jalan dalam memeperoleh pengetahuan yang benar dan dapat di
percaya, entah apa objek penelitian kita (alam hidup, alam mati, sejarah dan
sebagainya), yakni menerapkan metode-metode ilmu eksata.
Supaya CLM dapat kita tafsirkan dengan
tepat maka perlu di pertimbangkan sebagai berikut:
(1) Skema
penalaran CLM diasalkan dari logika formal dan terkenal sebagai kaidah “modus
ponen” skema penalaran yang berjalan dari (1) ke (2) kemudian ke (3)
hendaknya di bedakan dari ucapan di bawah (1). Yang tercakup oleh (1)
menunjukkan suatu pola hukum empiris, tidak niscaya benar secara logis. Bukan
logika melainkan pengamatan empiris. Sifat logis sebuah skema penalaran jangan
di kacaukan dengan isi empiris dalam ucapan (1),(2),(3). Karena dalam CLM
eksplandum disimpulkan lewat sebuah deduksi logis dari sebuah ucapan nomologis
(nomos = hukum, yang bersifat pola hukum), maka CLM juga sering di sebut “modul
deduktif-nomologis”.
(2) Semua
pola hukum yang muncul dalam premis pertama, harus di konfirmasikan
(diperkuat,diakui) oleh semua fakta yang kita kenal dan yang relevan atau
sekurang-kurangnya tidak berlawanan dengan fakta itu. Andaikata kita
mengetahui dari sejarah bahwa terdapat sejumlah bangsa yang tidak menyerah
kalah, sekalipun dilawan oleh musuh yang unggul secara militer, maka pola hukum
yang menerangkan mengapa pihak Belanda demikian cepat menyerah kalah terhadap
tentara jepang, tidak boleh kita pergunakan. Dalam kedua kaitan ini kedua pola
hukum “semu” perlu di tolak. Misalkan akan pola hukum segala sesuatu yang
terjadi adalah takdir Tuhan. Keberatan terhadap pola hukum ini bukan karena
bertentangn dengan fakta-fakta yang kita ketahui melainkan justru karena hukum
ini tak pernah dapat bertentangan dengan fakta-fakta. Baik terjadi
peristiwanya P maupun tidak terjadinya P dapat diterangkan
dengan pola hukum bahwa segala sesuatu terjadi menurut takdir Tuhan. Dengan
pola hukum ini apa saja dapat diterangkan. Akan tetapi pola hukum serupa itu
tidak bisa membantu kita, bila kita ingin memperdalam pengetahuan kita mengenai
masa silam, kita menanyakan sebab musabab mengapa ini terjadi dan bukan itu.
Pola hukum ini membuktikan terlalu banyak dan sesuai dengan sebuah pepatah
Perancis barang siapa ingi membuktika terlau banyak tidak membuktikan apapun.
Selain itu, bukan pola hukum atau kebenaran melainkan kegunaan pola hukum itu
dalam penelitian sejarah yang kita permasalahkan. Mungkin juga pola hukum itu
benar atau sah, tetapi itu merupakan masalah bagi para teolog dan metafisisi.
Yang menentukan ialah dalam praktek pengkajian sejarah pola hukum semu iti
tidak dapat di pergunakan.
(3) Pola
pola hukum selalu mengungkapkan bahwa suatu peristiwa (sebab) di susul oleh
suatu jenis peristiwa lain (akibat). Dua macam peristiwa selalu kita amati
bersama-sama. Seketika itu kita menyadari hal itu maka kita mengerti bahwa
dalam menentukan dan merumuskan pola-pola hukum kita mudah sekali tergelincir.
Misalnya sebagai berikut: selalu, bila terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi
dua akibat. Kita dengar suara terbenturnya dua buah besi, kemudian kita lihat
kedua buah mobil itu reyot-reyot. Berhubung kedua akibat itu selalu terjadi
bersama-sama, maka kita tergoda untuk mengadakan hubungan kausal antara dua
akibat itu. Suara menyebabkan kereyotan atau sebaliknya. Bila kita menyusun
pola-pola hukum kita harus menghindari ketololan serupa itu. Tidak semudah
seperti kecelakaan lalu lintas tadi. Kadang-kadang sukar sekali menentukan
dalam praktek apakah kita berhadapan langsung dengan hubungan sebab akibat atau
dua akibat yang di timbulkan oleh satu sebab.
(4) CLM
membuka jalan untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh peristiwa itu
termasuk satu jenis peristiwa tertentu. Ini berarti bahwa dengan modul CLM
sebuah peristiwa tidak pernah diterangkan dalam segala kompleksitasnya dan
segala keunikannya tetapi hanya sejauh peristiwa itu mempunyai sifat-sifat
tertentu sehingga termasuk dalam suatu kategori atau jenis peristiwa yang
selalu mempunyai sifat-sifat itu bersama-sama. Ini terlihat ketika kita
merumuskan kembali CLM. Dalam perumusan kembali itu peristiwa unik atau hal-hal
individual. Dengan kata lain CLM hanya menerangkan
peristiwa-peristiwa sejauh itu berkenaan dengan aspek-aspek dalam peristiwa itu
yang secara eksplinsit disebut dalam pola hukum. Misalnya mengenai kapitulasi
belanda pada bulan Maret 1942. Hukum umum yang kita gunakan dalam peristiwa itu
hanya menyebut kapitulasi-kapitulasi bila terjadi konfrontasi bila terjadi
kekuatan militer yang jauh lebih unggul. Keterangan sesuai CLM hanya
menerangkan aspek-aspek lain dalam peristiwa itu dan apakah kapitulasi itu bagi
seluruh wilayah Hindia Belanda. Ini tidak berarti aspek-aspek itu tidak dapat
di terangkan melainkan bahwa untuk diperlukan pola-pola hukum lain. Akan tetapi
pernyataan ini di tafsirkan. Bahkan peristiwa-peristiwa tidak dapat diterangkan
dalam segala kompleksitas dan individualitasnya yang unik, tidak berarti, bahwa
dengan bantuan modul CLM tidak dapat diterangkan peristiwa-unik dan individual.
(5) Dalam
CLM tidak dikatakan apapun mengenai kedudukan si juru penerang, dalam arus
waktu terhadap peristiwa yang di terangkannya. CLM tidak mengatakan apakah
peristiwa yang diterangkannya terjadi pada masa silam, masa kini, atau pada masa
depan. Maka dari itu dapat dibayangkan bahwa CLM digunakan untuk mengadakan
ramalan-ramalan tertentu mengenai masa depan. Bila kita mempergunakan modul CLM
maka keterangan-keterangan mengenai peristiwa-peristiwa pada masa silam dan
ramalan-ramalan mengenai masa depan mempunyai struktur yang sama. Bila di
pandang dari sudut itu maka sebuah keterangan dapat di namakan suatu ramalan
sudah terjadi peristiwa (factum). Kata ramalan disebut “preiksi” maka sebuah
keterangan historis juga dapat di namakan suatu retodiksi (retro=belakangan,
kembali). Berbicara mengenai ramalan-ramalan perlu di catat suatu kesukaran.
CLM hanya menerangkan beberapa aspek dalam peristiwa-peristiwa. Akibatnya bahwa
dengan CLM juga hanya dapat meramalkan beberapa aspek mengenai masa depan.
Mengenai krisis-krisis internasional yang diramalkan tidak dapat dikatakan
apapun mengenai sifat dan keseriusannya. Tetapi berdasarkan CLM kita hanya
dapat mengatakan sesuatu yang sangat umum mengenai masa depan. Ramalan mengenai
masa depan tidak berkaitan dengan peristiwa-peristiwa unik dan individual
seperti halnya dengan keterangan mengenai peristiwa pada masa silam.
(6) Kemudian,
kita harus mencatat sesuatu mengenai sifat dan jangkauan pola-pola hukum yang
di pergunakan dalam CLM. Dalam filsafat sejarah spekulatif seperti marxisme
disebut mengenai adanya pola-pola hukum umum yang menguasai proses sejarah.
Akan tetapi para penganut CLM menyusun teori-teori mengenai pola-pola hukum
umum. Hempel mendevinisikan pola hukum umum sebagai sebuah ucapan universal,
tetapi kondisional yang dapat di benarkan atau di bantah menurut pengamatan
empiris. Pola hukum umum yang diamati Marx dalam proses sejarah ialah sejarah
melewati beberapa tahap (dunia klasik, feodalisme, masyarakat borjuis
kapitalis, kemudian sosialisme). Pola-pola hukum umum seperti di maksudkan oleh
para penganut CLM selalu berkaitan dengan apa yang dapat terulang kembali dalam
kenyataan historis dan rumusnya selalu berbunyi “selalu, jika…maka...”. ini
berarti bahwa jangkauan pola hukum seperti di maksudkan oleh para filsuf
sejarah spekulatif berkaitan dengan garis besar dalam seluruh proses sejarah
sedangkan keterangan-keterangan mengenai peristiwa-peristiwa singular dan individual,
dengan sendirinya lebih terbatas jangkauannnya.
(7) Jangkauan
pola hukum dalam modul CLM oleh W.H. Dray dan M. Mandelbaun di batasi lagi. Pola
hukum hanya meliputi bagian-bagian dalam peristiwa yang harus di terangkan
tetapi tidak peristiwa itu sendiri. Kebanyakan kasus seorang peneliti sejarah
praktis dipaksa menempuh jalan seperti disarankan oleh Dray dan Mandelbaum.
Misalnya mencari sebab-sebab melakukan proses dekolonisasi. Sesudah perang
dunia dunia II maka dengan sia-sia akan mencari pola-pola umum bagi proses
dekolonisasi. Akan tetapi proses dekolonisasi yang majemuk itu dipecahkannya
menurut komponen-komponennya maka ia berhadapan dengan sejumlah peristiwa yang
saling dapat di kaitkan dengan pola-pola hukum (sebagai akibat dari perang
dunia II negara-negara kolonial tidak kuat lagi kedua negara adikuasa tidak
memiliki koloni-koloni oleh karena itu tidak berminat mempertahankan tata
pemerintahan kolonial, nasionalisme di daerah-daerah jajahan merongrong
kekuasaan negara-negara kolonial dan seterusnya).
(8) Hempel
melihat bahwa para ahli sejarah jarang atau tak pernah memberikan
keterangan-keterangan yang seratus persen serasi dengan syarat-syarat CLM. Demikian
para ahli sejarah jarang menyebut pola hukum umum yang menjadi dasar penalaran
mereka. Seorang ahli sejarah membatasi diri pada ucapan “ karena raja George I
dan II (yang berasal dari Hanover) kurang berminat terhadap kejadian-kejadian
di Inggris, maka kekuasaan parlemen dapat di perluas dengan mengurangi
kekuasaan raja. Para ahli sejarah tidak pernah menyebut pola hukum itu karena
demikian gamblang sehingga oleh pembaca sendiri dapat diandaikan. Maka dari itu
kata Hempel keterangan-keterangan historis biasanya hanya berupa keterangan
dalam bentuk sketsa, artinya masih harus dirinci dan dilengkapi. Sebetulnya tak
ada keberatan bila perincian itu tidak dilakukan tetapi pada prinsipnya harus
terbuka jalan untuk mengadakan perincian itu supaya keterangan yang
bersangkutan dapat di terima.
2.3.2 Perbaikan –
Perbaikan dalam CLM
Barang siapa tanpa praduga memandang tulisan-tulisan
sejarah tidak akan menjumpai dengan banyak tulisan yang memenuhi syarat-syarat
CLM. Adapun tugas filsafat sejarah memberikan kesan bagaimana serang peneliti
sejarah bertindak bukan untuk mengguruinya. Sebagai akibat adanya jarak antara
praktek pengkajian sejarah dan CLM yang murni maka diusulkan dalam perbaikan
dalam modul CLM itu. Usul-usul terpenting akan di bahas di bawah ini:
a) 1) Keterangan probabilitis.
Pencairan pertama di sebut keterangan probabilistis (probabilis = masuk akal,
bisa juga terjadi begitu). Dalam CLM yang asli di tuntut pola-pola hukum yang
universal yaitu pola-pola hukum yang mencakup semua kasus (peristiwa yang satu
selalu disusul dengan jenis peristiwa lain). Akan tetapi dalam bidang kelakuan
manusia nampaknya agak kurang realistis menuntut adanya pola-pola hukum
universal setiap pola hukum dalam kelakuan dan perbuatan manusia dapat diterobos
perkecualian-perkecualian. Misalnya pada tahun 1975 republik Belanda hanya
memberi perlawanan terbatas ketika di masuki oleh pasukan-psukan Perancis.
Siasat yang paling mudah dalam kasus-kasus itu ialah melacak. Pola hukum yang
tidak benar atau kurang tepat dapat diganti dengan satu atau beberapa pola
hukum yang selaras dengan fakta-fakta yang kita ketahui. Misalnya dalam kasus
diatas pola hukum “setiap bagsa akan melawan musuh dari luar negeri” dapat
diganti dengan dua pola hukum lain.
2) Bila
bangsa yang satu bermaksud untuk menaklukkan bangsa lain, maka bangsa lain itu
akan memberi perlawanan.
3) Bangsa-bangsa
tidak (atau kurang kuat) memberi perlawanan terhadap penyerang dari luar, bila
pihak penyerang itu dianggap akan membawa kemerdekaan politik.
Dengan pola hukum kedua sikap republik
Belanda terhadap Perancis dapat diterangkan secara memuaskan. Singkatnya,
pertentangan antara peristiwa yang harus diterangkan di satu pihak dan pola
hukum umum yang sepintas kelihatan relevan di lain pihak dapat mengajak kita
untuk memperluas perangkat pola=pola hukum umum serta merincikannya, sehingga
peristiwa yang semula menyeleweng dari pola hukum itu akhirnya dapat
diterangkan dengan sebuah pola hukum umum.
Harus diakui siasat ini mempunyai
segi-segi negatif. Dalam keadaan serupa itu kita harus puas dengan pola-pola
hukum yang memberi peluang bagi kekecualian. Pola hukum serupa itu di sebut
pola hukum probabilitas artinya pola-pola hukum yang dengan “kepastian”
statistik mengaitkan sebab tertentu dengan akibat tertentu.
b) Perbaikan
yang di usulkan oleh Gordiner.
Perbaikan CLM yang di usulkan oleh
Gordiner seorang Filsuf sejarah Inggris mirip dengan perbaikan probabilistis.
Gardiner mengatakan bahwa pola-pola hukum yang di pakai oleh para peneliti
sejarah sering “bocor” tidak tertutup rapat seratus persen. Karena adanya perkecualian
maka setiap pola hukum ada kebocorannya. Maka dari itu Gardiner seorang
peneliti sejarah harus menerangkan masa silam dengan pola hukum yang
berlubang-lubang sesedikit mungkin. Menerangkan masa silam menuntut seorang
ahli sejarah, bakat (yang sukar didefinisikan) untuk menaksir sifat situasi
yang ingin diterangkan suatu bakat untuk menilai.
Dalam praktek pengkajian sejarah seorang
peneliti sejarah akan selalu berusaha melukiskan masa silam sedemikian rupa,
sehingga dapat ditemukan pola-pola hukum yang masuk akal paling dapat
diandalkan dan paling umum yang dapat dikaitkan dengan deskripsi-deskripsi
menurut syarat-syarat CLM. Sebuah contoh yang diajukan Danto dapat menerangkan
hal ini. Bayangkan bahwa kita pada suatu hari tertentu lebih dari tiga puluh
tahun berjalan-jalan di kota Monako lalu melihat di mana-mana bendera Monako
selalu dikibarkan bersama dengan bendera Amerika serikat. Kita lalu bertanya
mengapa orang Monako bebuat demikian bila eksplanadum dirumuskan sebagai pada
saat ini dan dikota ini orang-orang monako selalu mengibarkan benderanya
bersama dengan bendera AS, maka dalam rumusan itu tidak terdapat suatu hukum
umum yang dapat menerangkan eksplanadum ini. Dalam peristiwa sejarah jarang
atau tidak pernah terjadi orang-orang Monako mengibarkan bendera negaranya
bersamaan dengan bendera AS. Tetapi bila eksplanadum ini di rumuskan dengan
umum dan tidak begitu terperinci misalnya para penduduk suatu negara
menghormati negara lain (dengan mengibarkan bendera negara itu) maka tersedia
suatu pola hukum umum yang dapat diandalkan. Kita dapat membayangkan suatu pola
hukum umum atau hukum probabilitas selau bila raja suatu negara menikah dengan
putri suatu negara lain maka para penduduk negara pertama menghormati negara
lain. Dalam deskripsi-deskripsinya sorang ahli sejarah harus mencari budang
yang sempit tetapi paling optimal antara yang umum dan yang khas sambil
memperlihatkan di mana ia akan menerangkan keadaan-keadaan
perkembangan-perkembangan serta situasi-situasi.
c) Perbaikan
yang di usulkan oleh Scriven dan White,
M. Scriven dan M. Whitefilsuf sejarah
dari Amerika. Perbaikan jauh menyimpang dari modul CLM yang asli sehingga dapat
di pertanyakan sejauh mana ini masih sebuah varian CLM. Scriven berpendapat
tidak, karena pada pokok usulnya merupakan suatu perbaikan terhadap CLM dan ia
sendiri tidak mengembangkan sebuah modul keterangan yang baru. Yang menjadi
titik pangkalnya ialah usul yag menerangkan eksplanan menurut CLM di bagi
menjadi dua. Bagian eksplanan yang menyebut sebab bagi suatu peristiwa atau keadaan
yang harus diterangkan (yaitu premis kedua dalam keterangan CLM) menurut
Scriven dan White merupakan keterangan pokok bagi eksplanadum. Sisa eksplanans
pola hukum umum atau probabilistic yang disebut dalam premis pertama
membenarkan atau mmberi legitimasi kepada keterangan yang di sajikan tanpa
melupakan bagian keterangan tersebut.
Setelah CLM di perbaiki menurut usul
Scriven dan White segala daya keterangan mereka pusatkan kepada peryataan yang
menyebut sebab bagi suatuperistiwa dengan pola hukum dikurangi di jadikan
semacam asuransi sesudahnya. Contoh dalam bukunya yang tersohor mengenai
masyarakat feodal (la societe feodal).
M. Bloch mengatakan bahwa sekitar 1000 bangsa Norman terhenti karena mereka
pada waktu itu memeluk agama kristen. Secara formal kita tidak mempunyai
keberatan terhadap keterangan tersebut , sekalipun kita tahu bahwa kasus yang
berlawanan dengan pola hukumbahwa orang kristen tidak saling berperang. Yang
pokok ialah suatu keterangan historis selalu menyebut sebab suatu kejadian
sekalipun kita masih menyangsikan pola hukum yang menjamin bahwa keterangan
historis itu dapat di percaya ini tidak meniadakan kenyataan bahwa telah
disajikan keterangan historis. Dengan kata lain bahwa pola-pola hukum yang
digunakan tidak seratus persen dapat diandalkan dan dalam pengkajian praktek
sejarah ini selalu tejadi tidak menggugurkan ketepatan suatun keterangan
historis. Scriven lebih mencairkan CLM dari pada yang dilakukan oleh
White. Pola-pola hukum ini atau Scriven di sebut Truismatau generalisasi
normis. Kaidah=kaidah umum yang kita kenal dari hidup sehari-hari yang normal
yang biasa. Pola-pola hukum itu samar-samar tidak terinci berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa yang sepele dan kebal terhadap falsifikasi.
2.3.3 Kritik Terhadap
CLM
Dibawah ini dilukiskan beberapa
keberatan sementara yang di ajukan oleh seorang filsuf sejarah terhadap CLM.
a) Jarak antara eksplanans dan eksplanandum.
Secara khusus seorang filsuf sejarah dari Kanada W. H. Dray mati-matian
menyerang CLM. Dalam keterangan CLM sebuah peristiwa tidak pernah di terangkan
dalam segala kompleksitasnya melainkan dalam sebuah deskripsi yang cocok.
Pola-pola hukum yang terdapat di CLM selalu dapat di perhalus sehingga jarak
antara eksplanans dan eksplanandum makin di perkecil. Terdapat sisi negatifnya
yakni kesahihan pola hukum yang di pergunakan lalu berkurang makin hukum umum
di dekatkan dalam peristiwa sejarah yang konkret.
(1) Pola hukum itu
makin menjadi terinci dan makin besar kemungkinan bahwa ia dapat di falsifikasi
(hukum umum selalu aman);
(2) Jumlah peristiwa
sejarah yang dapat dijadikan batu ujian bagi kesahihan sebuah pola hukum
semakin berkurang
Jadi enggan memperkecil jarak antara
eksplanas dan eksplanandum kita memperbesar ketidak andalan pola hokum yang di
pergunakan serta keterangan yang didasarkan atas pola hukum itu. Dengan
demikian di tuturkan oleh Dray penganut CLM di hadapkan dengan dilema atau
melakukan penelitan dengan mempergunakan pola-pola hukum yang samar-samar dan
umum yang relatif dapat diandalkan tetapi tidak banyak menerangkan atau
mempergunakan pola-pola terinci yang relatif lebih banyak yang menerangkan
tetapi kurang dapat dipercaya. Contoh ketika louis XIV meninggal ia tidak
dicintai rakyat karena tidak memperlihatkan kepentingan rakyat. Tokoh CLM
menanggapi bahwa keterangan tersebut hanya dapat di terima berdasarkan pola
hukum andalan yakni selalu bila serang raja tidak memperhatikan kepentingan
rakyat maka ia tidak di cintai rakyat waktu ia meninggal. Sejarawan menyadari
pola hukum yang samar itu tidak dapat di pertahankan. Richard Lionheart
merugikan negaranya tetapi ia di cintai oleh rakyat Inggris. Ketika Louis XIV
meninggal tidak di cintai rakyat karena kurang memperhatikan kepentingan rakyat
dan karena dalam hal agama ia melakukan kebijakan yang kaku.
b) Keberatan
terhadap pola hukum probabilistis. Dapat diajukan keberatan sebagai berikut.
Dengan pola-pola huku probabilistis dapat di terangkan mengapa dalam sekian
persen sejumlah kasus sebab tertentu disusul akibat tertentu tetapi tidak di
terangkan apa yang terjadi dalam kasus-kasus individual. Bagi peneliti sejarah
hukum-hukum probabilistis atau statistik kurang memadai.
c) Sifat
formal dalam CLM. CLM merupakan kriterium yang semata-mata formal agar suatu
keterangan historis dapat di terima.
d) Keberatan
faucault. Keberatan terakhir dan paling dasyat terhadap CLM di lancarkan oleh
seorang ahli filsafat dan sejarah berkebangsaan Perancis. Foucoult tidak secara
eksplinsit melawan CLM. Dalam alam pikiran yang menghasilkan CLM terhadap
keyakinan (yang sering tidak diungkapkan), bahwa hakikat suatu keterangan harus
mengembalikan yang tak dikenal menjadi dikenal.
2.4 Hermeneutika
Istilah hermeunetika apabila diruntut
secara etimologis, asal usul kata hermeunetika berrasal dari bahasa Yunani
yaitu herminos yang mengacu pada seorang pendeta bijak Delpich.
Kemudian diasosialisasikan pada Dewa Hermes, sebagai dewa penemu bahasa dan
tulisan. Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno dikaitan dengan pembawa pesan
takdir.
Hermeunetika sebagai suatu teori banyak
menyangkut pada garapan atau bidang teoligi, filsafat bahkan sastra.
Hermeunetika didefinisikan sebagai studi tentang prinsip – pronsip metologi,
interpretasi, dan eksplanasi khususnya studi tentang prinsip – prinsip
interpretasi bibel.
2.4.1 Dua Bentuk
Hermeneutika
Sejarah hermeneutika kita awalkan dengan Frederich
Scheleirmarcher (1768-1834), seorang ahli Theologia Jerman. Selaku seorang
Teolog Scheleimarcher tertarik oleh persoalan, bagaimana teks-teks tertentu
dari alkitab harus ditafsirkan. Maka dari itu, Scheleimarcher mempergunakan
istilah “hermeneutika” (dalam bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah).
Jalan hermeuneus itu hendaknya ditempuh bila ingin menjelaskan bagian-bagian
alkitab yang sepintas kelihatan sukar dan bahkan mustahil untuk dimengerti.
Diterangkan disini perbedaan antara Hermeneutika
dengan teori-teori modern (misalnya dari A. Naess, seorang filusuf Norwegia).
Teori-teori argumentasi pun meneliti percakapan antar manusia, serta proses
berjalannya percakapan itu. Namun, berlainan dengan hermeneutika, teori
argumentasi mengandalkan bahwa kedua lawan bicara mempunyai titik pangkal atau
dasar bersama. Bila lawan bicara tidak dapat lagi saling mengerti, atau
komunikasi mulai terganggu, maka lacak dimana itu mulai terjadi, sambil bertitik
tolak dari dasar yang sama. Masalah yang dihadapi hermeneutika lebih mendalam,
tujuannya ialah menjembatani jurang antara dua titik pangkal yang berbeda-beda.
Maka
dari itu, istilah hermeneutika dapat dipergunakn dalam dua arti :
a) Menafsirkan
teks-teks dimasa silam.
b) Menerangkan
perbuatan seorang pelaku sejarah.
Menurut arti pertama, kita melihat suatu kesatuan
atau suatu koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut arti yang kedua kita
memberi jawaban terhadap pertanyaan, mengapa seorang pelaku historis berbuat
demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita seolah-olah mengatasi masa silam
serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian dari mana kita dapat
melihat kesatuan dan kebertautan. Dalam kasus kedua, kita menggunakan bahan
sejarah agar lebih dalam menyelami masa silam.
Menurut hermeneutika, terdapat satu bidang
penelitian ilmiah yang menuntut diterapkannya metode ilmiah-eksak dari CLM di
satu pihak dan bidang penelitian yang menuntut pendekatan hermeutis, di lain
pihak, yaitu perbuatan manusia seperti diteliti seorang ahli sejarah. Padahal,
menurut para penganut CLM, modul penelitian yang satu dan sama, yaitu CLM,
berlaku dan berguna pada semua bidang penelitian. Perbedaan kedua antara
hermeneutika dengan CLM, ialah kedudukan si ahli sejarah, selaku subjek yang
mengetahui dalam hermeneutika. Dalam CLM, subjek hampir tidak memainkan
peranan.
2.4.2 Hermeneutika
di Jerman (Dilthey dan Gadamer)
Tokoh terpenting dalam sejarah
hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey ingin berbuat bagi
“ilmu-ilmu rohani” (ilmu budaya manusia), khusus bagi sejarah, apa yang dibuat
Kant bagi ilmu-ilmu eksakta. Dilthey memusatkan perhatiannya pada pengalaman
kita tentang dunia historis. Karya Dilthey yang bagi kita penting ialah buku
karyanya pada pada tahun 1911, Der Audbau der geschichtlichen Welt in den
Geisteswissenschaften (susunan dunia sejarah menurut ilmu-ilmu budaya).
Ide-ide Dilthey berkisar pada tiga konsep inti, ialah “Erlebnis”, “Ausdruck”,
dan “Verstehen”. Pengalaman mengenai dunia hidup yang ditentukan oleh proses
timbal balik itu, pengalaman dalam arti sejati Dilthey, disebut “Erlebnis”.
Dalam analisis Dilthey mengenai “Erlebnis” itu , kita melihat pengaruh
interpretasi teks yang merupakan awal hermeneutika (Schleiermacher). “Ausdruck”
(ungkapan), selalu merupakan objektivasi mengenai kebertautan atau koherensi
dalam erlebnis. Seorang peneliti sejarah dapat merekonstruksi (Nachbildung)
erlebnis-erlebnis seorang pelaku sejarah, bila ia sambil menggunakan pengalaman
hidup sendiri. Mengaktualkan kembali keadaan-keadaan yang dahuu meliputi si
pelaku sejarah ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi dan sebagainya. Seorang
ahli sejarah seolah-olah harus mementaskan kembali, di atas panggung batinnya,
pengalaman dan proses-proses psikologis dan intelektual yang dahulu dirasakan
seorang pelaku sejarah.
Bila seorang peneliti sejarah telah
merekonstruksi kembali, dalam batinnya sendiri pengalaman-pengalaman seorang
pelaku sejarah sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, maka ia mampu
memahami (verstehen) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu. Untuk sebagian,
seorang peneliti sejarah telah membuat copy atau rekaman mengenai kesatuan dan
kebertautan dalam pengalaman yang demikian khas bagi seorang pelaku sejarah.
Tidak perlu dijelaskan bahwa proses verstehen itu tidak dapat diterapkan pada
bidang ilmu eksakta. Maka dari itu, Dilthey melawankan “verstehen” yang berlaku
dalam ilmu-ilmu budaya dengan “erklaren” (menerangkan) yang berlaku dalam
ilmu-ilmu alam, yang berdasarkan pola-pola hukum umum. “Erklaren” selalu
terbatas pada gejala-gejala yang bersifat lahiriah, dapat diamati. Sedangkan
seorang peneliti sejarah, mampu menyelami batin kenyataan historis. Bentuk
pengetahuan yang diperoleh dari Verstehen lebih lengkap dari pada Erklaren.
Verstehen itu baru mungkin, bila bila sebelumnya kita sudah tahu sedikit
mengenai dunia pengalaman seorang pelaku sejarah.
Secara singkat, pandangan Dilthey dapat
diringkas sebagai berikut: Manusia yang hidup dalam arus sejarah, terbenam
dalam dunia penuh arti. Setiap bagian dari dunia sejarah itu, merupakan
ungkapan (ausdruck) mengenai pikiran dan perbuatan manusia dan oleh karena itu,
menjadi pengemban arti. Hermeneutika Dilthey selalu bergerak antara tiga
patokan yaitu: Erlebis, Ausdruck, dan Verstehen.
Hans Georg Gadamer lahir pada tahun 1900
di Heidelberg. Tahun 1960 Gadamer menerbitkan buku Wahrheit und Methode
(kebenaran dan metode). Salah satu karya filsafat yang paling monumental abad
ini. Gadamer secara tegas menolak pendekatan teori pengetahuan atau pendekatan
modis. Selaras dengan pandangan Heidegger, Gadamer tidak memandang hermeneutika
sebagai salah satu untuk memperoleh sebuah pengetahuan. Melainkan sebagai ciri
khas dalam kehidupan manusia dan ekosistemnya. Gadamer memindahkan bidang
penelitian hermeneutika dari kawasan teori pengetahuan ke kawasan ontologi.
Maka dari itu, konsep pengalaman harus ditinjau kembali. Dalam bidang sains
pengalaman atau empiri dapat didefinisikan sebagai pengalaman mengenai
data-data yang ada dalam kenyataan, lalu diungkapkan dalam bahasa.
Gadamer menolak untuk memisahkan dunia
dan bahasa. Maka dari itu, bahasa, kenyatan, dan pengalaman menyatu. Pengalaman
tidak mencerminkan dunia dalam bidang parallel yang disebut bahasa, melainkan
terus-menerus terarah dan terserap oleh terpintalnya dunia dan bahasa. Dalam
pengalaman kita mengenai kenyataan sosial historis, pengalaman tak pernah
merupakan suatu jepretan seperti dalam ilmu eksakta, melainkan suatu proses
yang meliputi waktu tertentu, akibat penyatuan bahasa, kenyataan dan
pengalaman. Selama proses itu, bagian-bagian yang relevan dalam pengetahuan,
ingatan, harapan, dan emosi kita, diaktifkan menjadi pengalaman. Ontologi
hermeneutis, hendaknya menggantikan teori pengetahuan hermeneutis.
Penolakan Gadamer, terhadap teori
pengetahuan dan metode agar memberi tempat kepada kepada ontologi, mempunyai
konsekuensi penting yang sebetulnya merupakan konsep pokok yang mendasari
hermeneutiknya. Setiap analisis yang didukung oleh suatu teori pengetahuan
dan/atau suatu metode tertentu yang meneliti bagaimana pengetahuan pada umumnya
diperoleh dan pengetahuan sejarah pada khususnya, berdasarkan gagasan, bahwa
pengetahuan dapat deperoleh oleh seorang subjek yang tahu, subjek ini pada
prinsipnya dapat diganti oleh subjek lain, asal ada suatu metode tertentu untuk
meraih suatu pengetahuan yang dapat diterima siapa saja.
Dengan mendasarkan pengalaman
hermeneutika tidak pada teori pengetahuan, melainkan pada ontologi, maka
gardener sampai pada pendirian, bahwa setiap pemahaman hermeneutis mengenai
masa silam, terkait akan dan bertaut dengan individualitas si peneliti.
2.4.3 Hermeneutika
di Inggris dan Amerika
R.G Collingwood (1889-1943), seorang
ahli arkeologi dan filsuf sejarah berkebangsaan Inggris, sebetulnya ironis
bahwa Collingwood umum dipandang sebagai juru bicara pendirian hermeneutis yang
klasik, karena titik pangkalnya berada dilain tempat.
Hermeneutika yang dikembangkan
Collingwood, jelas dan sederhana. Ia mulai menetapkan bahwa perbedaan pokok
antara pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu eksakta, terletak dalam kenyataan,
bahwa seorang peneliti sejarah tidak hanya berurusan dengan kelakuan lahiriah
objek penelitiannya, melainkan juga dengan batin kelakuan mereka. Oleh karena
itu, Collingwood berpendapat bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam
pikiran. Collingwood menggarisbawahi bahwa “re-enactement” itu bukanlah hasil
intuisi penelitian sejarah yang tak dapat dikontrol. Peneliti sejarah hendaknya
selalu penuh imajinasi, ia harus pandai mengadakan ekstraplorasi dan
intraplorasi, menurut pandangannya sendiri, tetapi “re-enactment” itu merupakan
suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapak oleh kritik sejarah dan
juga dapat dinilainya.
W.H. Dray, seorang filusuf Kanada yang
terpengaruh Collingwood. Ini antara lain Nampak dari contoh berikut, bagaimana
Dray menerangkan suatu kejadian dalam sejarah. Namun, ada suatu perbedaan pokok
antara Collingwood dengan Dray. Yang mutlak perlu bagi Collingwood, ialah
pikiran tokoh sejarah dan duplikatnya dalam pikiran peneliti sejarah sama. Tuntutan
itu dilepaskan Dray, ia hanya minta suatu rekonstruksi yang didukung alasan
kuat dan bahan bukti mengenai apa yang dapat dipikirkan seorang tokoh sejarah.
Dray hanya meminta supaya disebut, apa yang dapat dipandang sebagai alasan bagi
seorang tokoh sejarah, supaya ia berbuat begini atau begitu.
2.4.4 Kritik
Terhadap Hermeneutika
Kita harus membedakan hermeneutika
sebagai penafsiran teks-teks dan hermeneutika sebagai suatu teori guna
menerangkan, secara historis, perbuatan seorang pelaku sejarah. Maka dari itu,
keberatan-keberatan terhadap hermeneutika, dapat dijadikan dua kategori.
a) Hermeneutika
berawal dari Rene Descartes (1596-1650) seorang filusuf Prancis, berpendapat
bahwa manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda-beda, yaitu jiwa dan tubuh,
atau seperti yang diungkapkannya sendiri yaitu roh dan keterbentangan.
Nilai hemeneutika terbatas pada
heuristik, artinya hanya merupakan sarana agar kita dpat sampai pada suatu
dugaan mengenai kenyataan. Jelaslah, bahwa keberatan yang diajukan terhadap hermeneutika
dari sudut CLM, juga dapat diajukan terhadap action rationale explanation ala Dray. Ia mengusulkan agar
membedakan:
(1)
Usaha membenarkan perbuatan-perbuatan kita (dengan menyebut alas
an-alasan kita);
(2) Melacak alasan sebenarnya
yang melatarbelakangi perbuatan kita.
Pembelaan Dray tidak meyakinkan penganut
CLM. Mereka setuju, bahwa kita ingat akan alasan bagi suatu perbuatan, maka
pada dasarnya kita hanya menentukan suatu peristiwa dari masa silam dan tidak
menerapkan pola-pola hukum umum. Dalam model penjelasan teologis yang
pertama-tama diusahakan ialah memberi bentuk yang terinci kepada proses
penghayatan hermeneutis.
b)
Jangkauan hermeneutika yang terbatas. Keberatan utama yang dapat diajukan
terhadap penjelasan hermeneutis ialah jangkauannya yang terbatas. Baik
penjelasan hermeneutis maupun penjelasan teologis, memperlihatkan dua
kekurangan.
c) Hermeneutika
kurang memiliki kesadaran historis. Akhirnya hermeneutika, sama dengan CLM,
dapat dipersalahkan karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan
mengandaikan, bahwa cara seorang peneliti sejarah menanggapi keadaan dalam
lingkungannya, pada pokoknya sama dengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi
terhadap lingkungannya. Baru, bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan, pikiran
dan perbuatan sama dengan seorang peneliti sejarah maka pendekatn hermeneutis
membuka jalan untuk menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi
hendaknya kita ingat, bahwa seorang peneliti sejarah justru meneliti masa
silam, karena adanya perbedaan antara masa kini dan masa silam. Ini berarti
bahwa seoran gpeneliti sejarah, pada prinsipnya, tidak menaruh minat terhadap
pikiran dan perbuatan seorang pelaku sejarah.
2.4.5 Masa
Silam Sebagai Teks
Yang merupakan ciri khas dari bentuk
hermeneutika ialah aksioma, bahwa dunia sosio-historis merupakan sesuatu dunia
yang penuh arti. Oleh karena itu, para filusuf sejarah dari tradisi
strukturalis, sering menyarankan untuk mempelajari masa silam, seolah-olah itu
merupakan suatu teks. Pendekatan ini merupakan suatu bentuk hermeneutika yang
serba baru, yang tidak lagi dapat di kritik dengan alasan-alasan yang diajukan
dalam pasal diatas tadi.
Karangan H. white Metahistory (1973),
mrupakan suatu usaha yang paling menonjol dalam mengembangkan suatu filsafat
sejarah seperti dilukiskan diatas tadi. Bagi White, masa silam merupakan sebuah
teks prosa, lagipula sebuah teks yang belum kita mengerti atau mudah sekali
keliru mengerti. Adapun tugas seorang ahli sejarah adalah menafsirkan teks
(historis), atau menjadi “puisi” penulisan sejarah. Seorang ahli sejarah harus
belajar mengidentifikasikan unsur-unsur masa silam yang berdiri sendiri
(leksion) kemudian membuat daftar (gramatika) bagaimana unsur-unsur itu terkait
dalam keseluruhan yang lebih luas (sintaksis), sehingga akhirnya dapat
mengatakan yang sebenarnya (semantik) dari suatu segi (bagian) dalam masa
silam. Adapun menurut White, empat bentuk gaya bahasa yang membuka jalan untuk
menerjemahkan prosa menjadi puisi penulisan sejarah, yaitu metafora, sinekdoke,
metomini, dan ironi.
Adapun sinekdoke adalah suatu gaya
bahasa yang juga ingin mengungkapkan hakikat sesuatu, tapi berbeda dengan
metafora, karena tidak menssejajarkan dua hal yang berbeda-beda. Adapun
metomini mirip dengan sinekdoke, namun tidak terpusat pada hakikat gajala
historis, melainkan pada aspek-aspek kejadian masa silam yang memperlihatkan
kebertautan di dalam sebuah struktur yang sekarang kita terapkan pada masa
silam.
2.5
Kausalitas
2.5.1 Sebab-sebab dan
keterangan-keterangan
Para peneliti sejarah bertanya mengenai
sebab-sebab dan keterangan-keterangan, bila berhadapan dengan proses-proses
perubahan. Bahkan juga mereka bertanya, mengaa sebuah proses perubahan
bertentangan dengan dugaan umum, maka yang menjadi pokok permasalahan ialah
perubahan-perubahan. Maka dari itu, dalam pengkajian sejarah
pengertian-pengertian seperti perubahan, sebab, dan keterangan berkaitan erat
dengan yang lain. Maka dari itu, dapat diduga juga, bahwa pengertian
sebab dapat dipahami menurut dua macam arti. Pertama, sebab sebuah peristiwa P
ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini demikian rupa, sehingga deskripsi
mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan pada pola hukum umum pila. Kedua
yang menyebabkan suatu peristiwa yaitu intensi atau motif seorang pelaku
historis untuk mengakibatkan peristiwa itu.
2.5.2 Berbagai Jenis
Sebab
Pendirian John Stuart Mill (1806-1873),
mengenai kausalitas. Bagi dia, penyebab P ialah keseluruhan peristiwa, keadaan,
dan perkembangan dan sebagainya yang mendahului P. ini dapat disebut sebab
total bagi P. konsep sebab total ini dari sudut filsafat, mungkin
memuaskan, akan tetapi dalam praktek, kita harus melacak sebab-sebab sebuah
peristiwa, kita akan dihadapkan pada kesukaran-kesukaran yang tak teratasi.
Perbedaan antara syarat yang cukup dan syarat yang mutlak perlu (istilah
syarat, kondisi, atau kondisi awal selalu sinonim dengan sebab).
2.5.3 Abnormalisme
Teori abnormalisme didukung oleh
pengalaman kita bersama. Kita baru menanyakan mengenai sebab sesuatu, bila
terjadi sesuatu yang mencolok, yang mengherankan, yang “”tidak normal”.
Demikian juga yang terjadi dalam pengkajian sejarah. Para sejarawan tidak
menanyakan mengenai sebab-sebab, selama hegemoni Eropa tidak diganggu gugat.
Baru bila Eropa kehilangan hegemoninya mereka baru bertanya apa sebabnya.
Tidak perlu diterangkan bahwa
keterangan-keterangan abnormalis selalu bersifat nisbi. Peristiwa-peristiwa
yang ditunjuk sebagai syarat mutlak bagi suatu peristiwa yang harus dijelaskan,
selalu dapat dikaitkan dengan pendirian seseorang yang ingin menerangkan
peristiwa itu. Dan pendirian-pendirian itu dapat berbeda-beda. Seorang
sejarawan terikat akan nilai-nilai yang dianutnya dan menyeleksi syarat-syarat
mutlak, hendaknya jangan ditafsirkan, bahwa dengan demikian
pernyataan-pernyataan kausal lalu juga digoncangkan dalam objektivitasnya.
2.5.4 Keberatan -
Keberatan Terhadap Prinsip Kausalitas
a) Jangkauannya
Jangkauan keterangna kausal terbatas.
Sebetulnya ini tidak langsung menyerang prinsip kausalitas, hanya menisibkan
nilai keterangan kausal bagi pengkajian sejarah.
Dray mengatakan bahwa keterangan-keterangan
historis tidak selalu menjawab pertanyaan “mengapa” (apa sebabnya), tetapi
sering juga pertanyaan “bagaimana”. Lebih radikal dari pada Dray adalah
Oakeshott. Bagi Oakeshott, semua pertanyaan mengenai sebab sebetulnya mengenai
pertanyaan “bagaimana”. Pertanyaan itu harus dijawab dengan menyebut beberapa
fakta yang melenyapkan rasa heran kita, jadi tidak dengan menyebut beberapa
pola dan sebab hukum umum. Menurut Porter, proses-proses perubahan yang dipelajari
seorang sejarawan dan yang ingin diterangkannya, hendaknya kita lihat sebagai
perubahan-perubahan dalam bentuk. Masa silam terus menerus mengalami
metamorfosa, sama seperti dalam proses evolusi tumbuhan dan hewan yang menampilkan
bentuk-bentuk baru.
b) Memisahkan sebab dan akibat
Sebab dan akibat merupakan
peristiwa-peristiwa, perkembangan-perkembangan dan sebagainya, di dalam
kenyataan historis sendiri dengan mempergunakan logat kausal, seolah-olah masa
silam tersusun dari sejumlah atom peristiwa. Atom-atom peristiwa itu dipelajari
dan diidentifikasikan oleh seorang peneliti sejarah dan akhirnya dia dapat
menunjukan suatu hubungan antar atom-atom tersebut. Akan tetapi demikian
Mandelbaum, kita membeda-bedakan dalam dan dengan bantuan bahasa. Baru setelah
kita memahirkan bahasa (sebab akibat), kita membedakan antara sebab dan akibat.
Tetapi bahasa dan kenyataan historis merupakan dua hal yang berlainan, oleh
sebab itu, pengalihan itu tidak dihalalkan. Oleh karana itu tidak
ada sebab untuk mengandaikan, bahwa peristiwa masa silam dapat dipisahkan
seperti konsep sebab akibat di dalam bahasa.
c) Sebab dan CLM
Kita telah lihat bahwa dipergunakannya
logat kausalitas mengandaikan penerimaan CLM. Keeratan-keberatan yang diajukan
terhadap CLM sekaligus dapat dipandang juga sebagai keberatan terhadap
keterangan kausal.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ekspalansi sejarah merupakan salah satu
aspek yang sangat penting dalam metodolgi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk
mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara
pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada.
Eksplanasi adalah suatu proses yang
menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
lain melalui penggunaan secara tepat, pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.
Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang
sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Model-model
Eksplanasi
·
Covering Law Model (CLM)
CLM adalah model yang dikembangkan oleh
Hempel (1959: 344-356) untuk memberikan penjelasan sejarah. Model ini berawal
dari pikiran Hume (1712-1776) seorang filosuf berasal dari Skotlandia.
Hematnya, alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian pula perbuatan
manusia harus tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu yang konstan dan universal.
·
Hermeneutika
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam
antitesis terhadap teori CLM. Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu
alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan
manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan,
partikularistik) daripada nomotetik (keumuman, generalistik).
·
Kausalitas
Model kausalitas berupaya
menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis
hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum
sebab akibat (law of causation) menunjukkan
bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit,
F.R. 1987. Denken Over Geschiedenis. Di Indonesiakan oleh Dick Hartoko,
Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Gottschalk,
Louis. 1969. Understanding History. Di Indonesiakan oleh Nugroho Notosusanto,
Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Richard,
E. 2005. Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
http://wolf88.blogspot.com/2014/05/eksplanasi-sejarah_3025.html