BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kota pada zaman
sebelum kemerdekaan dulu merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan
dan kegiatan negara yang lain. Namun, luas kota dahulu tidak seluas kota
seperti sekarang. Akan tetapi pola pemukiman bersifat pluralitas. Hal ini
dikarenakan pada zaman dahulu di kota banyak penduduk yang berdatangan dari
berbagai daerah dan dari luar negeri yang masing-masing mempunyai pola
kebudayaan yang berbeda-beda.
Pada abad ke-19, terdapat kota-kota disepanjang pantai utara
Jawa dan dipedalaman, antara lain Banten, Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang,
Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, Panarukan, dll. Sebagian kota
tersebut tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak
mempunyai fungsi perdagangan dan pada umumnya hanya merupakan pusat kedudukan
pemerintahan daerah.
Dalam pembahasan kali ini akan dibahas tentang Hubungan Kehidupan Kekotaan
dengan Munculnya Pergerakan Nasional.
1.2 Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana
Perkembangan Kota sekitar Tahun 1900?
2)
Bagaimana
Restratifikasi Masyarakat Kota Pada Masa
Pergerakan Nasional?
3)
Bagaimana
Stratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan Nasional?
4)
Bagaimana
Latar Belakang Munculnya Golongan-Golongan Sosial Pada Masa Pergerakan
Nasional?
5)
Bagaimana
Perkembangan Segmentasi Sosio Kultural Pada Masa Pergerakan Nasional?
6)
Bagaimana
Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional?
1.3 Tujuan
Penulisan
1)
Untuk
mengetahui Perkembangan Kota sekitar Tahun 1900;
2)
Untuk
mengetahui Restratifikasi Masyarakat Kota Pada Masa Pergerakan Nasional;
3)
Untuk
mengetahui Stratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan Nasional;
4)
Untuk
mengetahui Latar Belakang Munculnya Golongan-Golongan Sosial Pada Masa
Pergerakan Nasional;
5)
Untuk
mengetahui Perkembangan Segmentasi Sosio Kultural Pada Masa Pergerakan Nasional;
6)
Untuk
mengetahui Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional.
1.4 Manfaat Penulisan makalah
Makalah ini disusun dengan harapan
memberikan manfaat baik berupa tambahan pengetahuan serta wawasan kepada
pembaca tentang “Hubungan Kehidupan Kekotaan pada Masa Pergerakan Nasional
Indonesia (1900-1942)”,
dan juga semoga memberikan manfaat bagi penulis sendiri.
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1
Perkembanagan Kota- Kota Pada Masa Pergerakan Nasional Sekitar Tahun 1900
Sampai abad ke-19
sebagian kota tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak
mempunyai fungsi perdagangan dan pada umumnya hanya merupakan pusat kedudukan
pemerintahan daerah. Tipe kota kabupaten digambarkan tidak banyak berbeda
dengan lingkungan pedesaan sekitarnya, hanya dalem (rumah)
bupati dan sekitarnya yang menonjol. Bangunan-bangunannya
rapat satu sama lain. Bentuk bangunan rumah, kebanyakan masih tradisonal, hanya
lambat laun bangunan gedung loji atau villa bermunculan kemudian. Dengan
perkembangan penduduk eropa, yang bersamaan dengan perluasan sistem pemerintah
kolonial lengkap dengan birokrasinya, wajah kota-kota mulai berubah. Pusat kota
terutama terdiri atas gedung-gedung pemerintahan dan kediaman pejabat.
Kabupaten menghadap
alun-alun dan disekitarnya terdapat rumah asisten residen atau kontrolir gedung
pengadilan, rumah penjara, gudang garam, kantor pos dan telepon serta rumah
pejabat- pejabat, baik eropa maupun pribumi.
Pusat kegiatan
ekonomi jaman kuno berkisar disekitar pasar yang berfungsi sebagai penampung
transaksi dengan daerah sekitarnya, kecuali pemasaran hasil bumi dari pedesaan
diperdagangkan pula barang-barang kebutuhan rakyat. Di
kabupaten, kegiatan ekonomi itu lazimnya diadakan dua kali setiap lima hari
pasaran. Dalam satu kompleks dengan pasar terdapat pertokoan yang
pada umumnya terkenal sebagai pecinan sekaligus
menjadi tempat pemukiman golongan cina. Dalam tata guna tanah kota
sangat wajar apabila kompleks pertokoan dan pasar terletak di pinggir jalan
raya kota.
Lokasi pusat lalu
lintas baru timbul dengan dibangunnya jalan kereta api sejak 1870, yaitu
stasiun kereta api berikut gudang-gudang, warung-warung, dan rumah penginapan.
Gedung-gedung sekolah
terdapat pada peta kota,
baru muncul kemudian mengikuti laju perkembangan sistem
pengajaran sejak akhir abad ke-19. Perkembangan ekonomi pada akhir abad ke-19
yang ditopang mempunyai dampak pada pembangunan infrastruktur seperti
komunikasi, edukasi, dan birokrasi menjadi perangsang urbanisasi. Kota-kota
sebagai pusat pelayanan, kemudahan perdagangan, dan kedudukan penguasa, menjadi
pemukiman pendatang yang berasal dari daerah lain atau daerah pedesaan.
Setengahnya sebagai pegawai atau pejabat, dan setengahnya lagi sebagi tenaga
upahan, baik dengan atau tanpa keterampilan.
Dipinggiran kota
terdapat makam, tempat penyembelihan hewan, bangunan pelayanan umum yang
memerlukan tanah agak luas yang didirikan pada tingkat perkembangan kota
kemudian, seperti rumah sakit, sekolahan, lapangan olah raga, dls.
Pola pemukiman kota
menunjukkan jelas-jelas sifat pluralistis masyarakat indonesia. Kompleks rumah
tembok (loji) dengan halaman luas dipemukiman golongan eropa dan elite pribumi,
pecinan dengan bangunan yang padat dan rapat satu sama lain, kemudian kampung
dimana terutama kaum pribumi tinggal, yang biasanya merupakan kontras dengan
daerah lainnya, baik kualitas bangunannya maupun sistem sanitasinya.
Daerah pemukiman
(wijk) eropa secara fisik menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kampung
atau pecinan , lagi pula lokasinya lebih banyak di periferi kota, dimana
lingkungan belum terkena polusi kota. Bangunan rumah pada umumnya termasuk tipe
villa, yang oleh rakyat disebut loji
(loge). Tata ruang disesuaikan dengan iklim panas,
ruangan-ruangan berdinding tinggi dan pintu serta jendela besar-besar dan
tinggi pula. Keteduhan dijaga dengan adanya halaman dan kebun disekitar gedung.
Daerah ini dihuni ekslusif oleh bangsa eropa dan apabila terdapat penghuni
pribumi atau cina, maka hal itu merupakan kekecualian dan mereka lazimnya termasuk
kelas atas. Kebersihan kota dijaga ketat sehingga menambah keindahan wilayah.
2.2 Restratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan
Nasional
Sebagai dampak dari
perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru sesuai
dengan diferensiasi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan
pemerintahan. Banyak fungsi yang memerlukan kejuruan atau keahlian teknologi
seperti yang dibutuhkan dalam pembangunan industri, pertanian,
insfrastruktur,berbagai kedinasan bagi bermacam-macam pelayanan masyarakat. Hal
itu wajar dalam evolusi sosial pada fase menginjak konmersialisasi,
Industrialisasi dan birokratisasi. Sekaligus terciptalah golongan profesional
yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi
sosial masyarakat tradisional.
Berdasarkan sistem
rezim kolonial, sistem kekuasaan bersifat heirarkis-feodal dengan bertulang
punggung pegawai Binnenlands Bestuur (BB)
atau pangreh praja. Kekuasaan kolonial tidak memperlemah golongan itu, bahkan dalam
banyak hal memperkuat sehingga timbul
semacam enfeudalisasi. Dalam konteks itu pembentukan berbagai kedinasan pada
tingkat kabupaten memang membatasi wewenang bupati, berbagai fungsi teknis
diserahkan kepada para tenaga teknis yang profesional. Kepemimpinan yang
monomorfik terbatas pada bidang spesialisasi teknis nya dan munculnya golongan
profesional itu mengurangi kepemimpinan bupati yang polimorfik sifatnya.
Meskipun demikian otoritas tertinggi diwilayah kabupaten tetap ada pada bupati.
Ada usaha-usaha
untuk membuat hierarki kepangkatan bagi para profesional sesuai dengan hierarki
dalam BB seperti pangkat mantri, asisten wedana, wedana, bupati. Bagi rakyat
kesejajaran pangkat tersebut memudahkan penentuan posisi sosial pejabat. Dalam
administrasi pemerintahan yag lebih penting ialah kualifikasi penjabat serta
conduite-nya dalam melakukan tugasnya untuk kenaikan pangkatnya, yang jelas hal
itu tidak tergantung lagi pada bupati.
Suatu kenyataan
bahwa baik menurut pendidikan yang diperolehnya maupun posisi sosial yang
ditempatinya, para profesional banyak sedikitnya mampu melakukan liberasi
terhadap keterikatan tradisional dan feodal sehingga mempunyai ruang gerak
sosial yang lebih luas.
Dalam hal ini,
selama bekerja dia mendapat kesempatan bergaul dengan teman-teman dari daerah
dan kebudayaan lain sehingga ia dapat memperluas pandangan hidup dan relasi yang luas pula. Dengan cara
inilah dapat kita jumpai hubungan-hubungan baru yang jauh melampaui ikatan
primodial, seperti hubungan keluarga, suku, suatu proses yang akan semakin
melembaga sebagai pola hubungan baru dan kemudian berkembang menjadi jaringan
sosil sehingga terciptalah ruang sosial, dimana integrasi nasional secara
lambat laun terbangun. Dalam konteks inilah, perlu ditempatkan pertumbuhan organisasi-organisasi
pergerakan nasional.
2.3 Stratifikasi
Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan Nasioanal
A)
Stratifikasi sosial
Di sini elite administrasi ataupun birokrasi di
kota-kota kabupaten merupakan golongan yang berprestise, berkedudukan ekonomis
baik, serta memiliki cukup kekuasaan. Inti golongan ini adalah para pejabat
pangrah praja ( Binnenlands Bestuur) dengan bupati pada puncak hierarki
birokrasi, disusul oleh patih, wedana, asisten wedana, mantri-mantri, juru
tulis. Sudah tentu tingkat
kepangkatan serta pendapatan memungkinkan penghayatan kehidupan menurut gaya
tertentu: rumah, perabot dan halamannya, pakaian, makanan, rumah tangga dan
pembantu-pembantunya, hiburan, lambang-lambang status, seperti: payung, alat
senjata, pusaka, dls yang kesemuannya mencerminkan status seseorang. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur gaya hidup itu mewujudkan status priyayi beserta etosnya tersendiri, di Pasundan status menak, di
Aceh Hulubalang, dan seterusnya.
Sejajar dengan
tinggi rendahnya tingkat kepangkatan maka ada pembedaan antara priyayi gedhe dan priyayi cilik. Di samping itu masih terdapat golongan bangsawan
(udara-udara) yang terdiri atas orang-orang yang masih keturunan raja-raja
sampai derajat keempat atau kelima. Kaum terpelajar yang telah memperoleh
kedudukan dalam birokrasi pada umumnya juga hidup dengan gaya priyayi, dan
dengan demikian mereka memperoleh status terhormat. Kaum intelektual kelas
menengah baru muncul setelah perguruan tinggi mengeluarkan tamatan yang dengan
derajat akademinya tidak masuk birokrasi, tetapi menjalankan profesinya secara
swasta. Dari kalangan itulah muncul pemimpin-pemimpin gerakan nasional. Dalam
hubungan ini perlu diutarakan bahwa dengan pendidikan tingkat menengah para
dokter jawa pada umumnya ada dalam posisi sosial yang tidak terlalu terikat
pada hierarki birokrasi feodalistis. Sehingga mempunyai ruang gerak lebih
leluasa untuk menjalankan berbagai kegiatan, antara lain kegiatan politik.
Meskipun penetrasi
sistem administrasi kolonial modern telah berjalan selama satu abad lebih,
namun posisi para birokrat pribumi dalam pemerintah kolonial belum sepenuhnya
didasarkan atas otoritas legal nasional. Melainkan masih banyak menunjukkan
sifat-sifat feodalistis. Ini tidak lain disebabkan karena dukungan kekuasaan
kolonial semakin memperkuat kedudukan para birokrat. Pada mulanya dukungan itu
diberikan untuk membuat efektif segala usaha penarikan pajak serta pengawasan
keamanan, namun kemudian para pejabat dapat memperluas wewenang mereka bagi
keperluan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kedinasan.
Meskipun penetrasi sistem
administrasi kolonial modern telah
berjalan selama satu abad lebihh, namun posisi para birokat pribumi dalam
pemerintahan kolonial belum sepenuhnya didasarkan atas otoritas legal rasional,
melainkan masih banyak menunjukan sifat-sifat feodalistis.
B) Feodalisme
Dalam stuktur kekuasaan kolonial pada masa itu,
kedudukan bupati dan birokrasi lainnya masih penuh otoritasisme. Oleh karena
otoritas tradisional ternyata sangat instrumental bagi pelaksanaan pemerintahan
kolonial, maka modernisasi birokrasi ke arah sistem legal rasional hanya
terbatas pada masalah-masalah administatif saja.
Di samping itu gaya hidup priyayi dan elite birokrasi masih diliputi oleh tradisionalisme,
sedang kehidupan sosial di kota-kota kolonial bersifat segmentaris sehingga
sistem aparthid (tersendiri) memang
tidak memerlukan banyak adaptasi kultural terhadap kehidupan barat.
Dalam pada itu pengajaran Barat sebagai saluran
mobilisasi sosial secara vertikal menjaddi unsur utama yang diterima umum.
Bersamaan dengan itu bahasa Belanda menjadi lambang status, tidak hanya
berkaitan dengan tingkat pendidikannya, tetapi juga dengan derajat posisi
sosialnya dalam masyarakat modern.
Politik kolonial Belanda yang nonasimilatif pada
satu pihak membuat elite birokrasi condong pada konservatisme dan pada pihak
lain dapat menghambat gerakan kemajuan menuju emansipasi.
C) Emansipasi
Dengan bertambah banyaknya jumlah
pelakar pribumi di sekolah barat, khususnya dari kalangan priyayi, dunia barat
dan peradabannya lengkap dengan sistem politik, sosial, dan ekonominya mulai
lebih dikenal. Sangat mengesankan tingkat kemajuan yang telah dicapai di Barat,
tambahan pula posisi sosial, Belanda yang sangat terpandang di mata bangsa
pribumi itu menyebabkan timbulnya aspirasi-aspirrasi untuk mengadakan invasi
atau modernisasi menurut model barat pada umumnya dan Belanda pada khususnya.
Terbukalah pada presepsi mereka
bukan hanya perbedaan-perbedaan tingkat dan gaya hidup pribumi dengan Belanda
atau Eropa saja, melainkan juga serba keterbelakangan dan kuno ataupun kolotnya
kehidupan tradisional itu. Myulai disadari perbedaan kualitas hidup antara gaya
barat yang serba bebas dengan pola kehidupan tradisional yang penuh
keterikatan. Trasisi mulai dipandang bukan lagi sebagai sesuatu yang wajar dan
harus dijunjung tinggi, melainkan sebagai hambatan terhadap kemajuan.
2.4 Golongan-Golongan
Sosial Pada Masa Pergerakan Nasional
Apabila di kota-kota pada umumnya para
ulama telah masuk pada lingkungan birokrasi kolonial dalam fungsinya sebagai
penghulu yang mengepalai administrasi dan upacara agama, di daerah pedesaan
peranan tradisional mereka dikatakan masih utuh. Dapat ditambahkan bahwa dalam
bagian kedua abad ke-19 peningkatan jumlah orang yang “naik haji” tidak hanya
meningkatkan religiositas rakyat. Tetapi juga memperkuat kedudukan para haji,
kyai, dan ulama. Dari sejarah abad ke-19 telah ditunjukan bagaiman rakyat
pedesaan dapay di mobilisasikan dibawah pimpinan kharismatis elite religius itu
dan melancarkan gerakan-gerakan petani yang lebih dikenal sebagai
pemberontakan-pemberontakan.
1)
Elite Birokrasi
Stuktur
kekuasaan dalam sistem politik kolonial seperti yang diterapkan oleh Belanda di
Indonesia bertulangpunggung birokrasi menurut model sistem tradisional. Ada
hierarki ketat yang menjadi penyalur perintah dari atas ke bawah. Kedudukan
raja di tampuk pimpinan diganti oleh penguasa kolonial, dan di samping itu
trbrntuk suatu hierarki pejabat-penjabat administrasi Belanda yang berjalan
pararel dengan hierarki pribumi. Sudah barang tentu cabang pangreh praja Eropa (Eropees Binnenlands Bestuur) berfungsi
untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan BB pribumi.
Kontak
lewat media masa muncul, “penularan” ide-ide kemajuan mulia tersebar, dan
akhirnya kesadaran tumbuh. Identifikasi dari sebagai “kaum maju” menunjukan
bahwa aspirasi mereka mencapai kemajuan seperti yang telah diperoleh bangsa
Barat khususnya lewat pelajaran. Dari tahun ke tahun berkembanglah kesadaran
itu sehingga timbul kecenderungan struktural bagi kelancaran gerakan-gerakan
sosial untuk mewujudkan aspirasi tersebut.
2)
Priyayi Birokrasi dan Priyayi
Profesional
Perkembangan masyarakat kolonial pada
awal abad ke-20 telah mengalami dampak mobilitas kaum pribumi yang telah
digerakkan oleh perluasan pengajaran. Mekipun masih ada pembatas-pembatasnya,
hal itu bukan lagi menjadi hak istimewa aristokrasi lama (kaum ningrat). Memang
semula ada anak-anak golongan ini yang masuk sekolah kejuruan, akan tetapi
jumlahnya semakin berkurang. Oleh karena kedudukan golongan profesional serta penghasilannya
termasuk rendah dibandingkan dengan kaum BB, maka status sosialnya dipandang
rendah juga. Di sini terdapat garis pemisah antara priyayi birokrasi dan priyayi
profesional. Yang disebutkan terakhir mencakup unsur-unsur baru (homines novi) yang lewat jenjang
pendidikan yang daapt menduduki tingkat sosial lebih tinggi dari pada tingkat
asalnya. Sewaktu Doktor Wahidin pada tahun 1906 berkeliling di Jawa, dia
menghadap bupati-bupati dengan bersila dilantai. Doktor Tjipto Mangoenkoesumo
melaggar larangandengan mengendarai kereta lewat dalem bupati. Perbedaan sosial itu menimbulkan frustrasi serta rasa
dendam di kalangan priyayi
profesional. Di kota-kota kecil hierarki birokrasi sangat ketat dan diperluas
sampai luar kedinasan, maka pada umumnya pada priyayi profesional tidak ada jalan lain daripada menyesuikan diri,
lebih-lebih karena mereka sebagai orang barumemandang tinggi nilai-nilai kepriyayian yang dipolakan menurut gaya
hidup priyayi birokrasi mengingat
otoritas bupati di tempat mak suasana kehidupan kota kecil diliputi oleh
foedelisme yanh bertambat kuat. Diluar kedinasan interaksi hanya terbatas pada
kesempatan formal seperti pesta-pesta keluarga. Disini masih berlaku
solidaritas tradisional yang tidak terlalu mengadakan batasan-batasan status.
2.5 Perkembangan
Segmentasi Sosio Kultural Pada Masa Pergerakan
Nasional
Timbul hubungan sosial baru melalui sekolah dan pekerjaan,
akan tetapi tanpa institutionalisme(pelembagaan) sukar dipertahankan dan dibuat
kontinyu. Dengan adanya segmentasi sebagai hambatan struktural, maka ruang
lingkup komunikasi pada umumnya terbatas dalam lingkup subkultural.
1. Elite
Agama
Ada juga unsur elite agama yang tinggal dikota, dimana
komunitasnya merupakan semacam enclave
tersendiri, yang lebih dikenal sebagai kauman
atau kajen (tempat haji). Dibanyak
kota pantai unsur itu diperkuat oleh hadirya pedagang-pedagang pribumi yang
telah turun-temurun menjalankan perdagangan. Meskipun sama-sama mempunyai
kedudukan sebagai ulama, sebagai unsur elite agama dikota mereka mempunyai orientasi
hidup yang berbeda dengan para ulama pedesaan. Yang terakhir ini sering diberi
ciri ortodoks, suatu konsepsi salah yang menjadi umum. Justru mereka telah
banyak mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosio-kultural pedesaan sehingga
sinkretisme meresap pula dalam ajaran pada elite religious pedesaan itu.
Dikota ulama lebih banyak dihadapkan pada berbagai
pengaruh modernisasi. Lokal kekotaan mereka akan menentukan bagaimana reaksi
yang mereka tunjukkan dalam menghadapi proses perubahan itu.
Agama sebagai kekuatan integratif mempunyai potensi besar
untuk menghilangkan segmentasi, khususnya yang horizontal. Sebaliknya, dualisme
kota-desa tetap merupakan hambatan besar bagi proses integrasi lewat agama.
Batas-batas otoritas legal rasional mudah dilampaui sehingga
ekspansi birkrasi itu menjadi opresif bagi rakyat. Dalam menghadapi ekspansi
itu sering rakyat mencari perlindungan dibawah otoritas kharismatis para elite
agama.
2. Orang
Kecil
Menurut tradisi
sudah dibedakan dua subkultur priyayi masyarakat daerah tertentu, umpamanya di
Jawa antara desa dan kota di kolonial sendiri masih tampak jelas antara
perbedaan golongan elite yang tinggal diloji dan orang kebanyakan atau orang
kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung. Lazimnya perkampungan merupakan
tempat tinggal penduduk lama dikota bersama dengan pendatang dari golongan
nonelite atau paling-paling priyayi kecil. Ada pendatang yang berasal dari kota
lain dan menjabat duatu pekerjaan dalam kedinasan atau bidang profesi tertentu.
Pendatang dari desa merupakan tenaga buruh, pedagang kecil, pembantu Rumah
Tangga, dsb. Pedagang pribumi lazimnya tinggal didaerah pertokoan bercampur
dengan golongan cina. Di kota kabupaten sebagai kota pusat administrasi daerah
atau kota pegawai tidak terjadi urbanisasi yang pesat. Kegiatan perdagangan
terbatas sehingga tidak banyak mempengaruhi suasana kota itu.
Dalam keadaan yang
seperti itu gaya hidup kota yang didasarkan atas struktur sosial beserta
hierarkinya mempunyai cap ke-priyayian. Dan lagi peranan dan kedudukan bupati
yang dominan serta hierarki birokrasi yang ketat menciptakan pola hidup yang
feodalistik. Kecenderungan kearah enfeudalisasi tidak diimbangi oleh kekuatan
sosial lain, oleh karena tidak ada golongan yang bebas posisinya pedagag cina
memiliki status rendah dalam masyarakat pribumi, sedang golongan profesional
pribumi kebanyakan telah mengikuti gaya hidup priyayi. Oleh karena itu, tidak
ada ruang sosial bagi golongan yang ingin membebaskan diri dari struktur
feodalistik itu. Suasana kota kecil juga menjadi faktor yang memperkuat
tendensi itu. Sifat keterbukaan dan kebebasan sangat terbatas, hanya toleransi
sebagai nilai kultural saja yang masih memungkinkan adanya penyimpangan dari
pola umum.
3. Golongan
Belanda
Di beberapa kota kabupaten terdapat komunitas Belanda
yang mempunyai pekerjaan di perkebunan atau perusahaan di daerah sekitar kota
itu. Oleh karena ada diskriminasi ras, maka garis warna membuat komunitas itu
hidup dalam isolasi tanpa kontak dengan masyarakat sekitarnya. Di samping
kontak formal lewat saluran kedinasan hampir tak ada hubungan sosial, baik
dibidang umum maupun dibidang kehidupan pribadi, seperti dilapangan olah raga,
kamar bola atau soos. Dunia pribumi yang dikenalnya ialah kehidupan rumah
tangga beserta para pembantu, koki,babu ataupun jongosnya. Dikamar bola ada
kesempatan untuk bergaul bebas diantara mereka tanpa terlalu memandang
kedudukan dalam masyaakat, bahkan tidak jarang elite pribumi diterima juga
ditempat itu, antara lain bupati. Kesempatan pembauran seperti itu tetap
merupakan kekecualian dan langka sekali.
2.6 Hubungan
Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional
Pengaruh kebudayaan Barat yang diterima
masyarakat Indonesia seringkali disebut proses westernisasi. Pengaruh
westernisasi pada umumnya berlangsung melalui jalur pemerintahan dan
pendidikan. Proses westernisasi ini sangat jelas terlihat di kalangan bangsawan
dan birokrat pribumi. Kehidupan yang dipengaruhi kebudayaan Barat sangat jelas
terlihat pada kehidupan perkotaan. Kota sangat terlihat majemuk kehidupan masyarakatnya.
Oleh karena pusat-pusat perkotaan baru banyak yang terbentuk karena adanya
kepentingan pemerintah kolonial, maka jelas budaya kolonial yang paling
kelihatan. Masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda juga memberikan pengaruh
terhadap perkembangan dunia pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum pemerintahan
kolonial berlangsung, sistem pendidikan Indonesia sangat tradisional.
Pusat-pusat pendidikan hanya berada di lingkungan istana dan pusat keagamaan
(pesantren). Kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan pendidikan juga sangat
terbatas pada keluarga bangsawan.
Namun, pada akhir abad ke-19 terjadi
kemajuan pada dunia pendidikan Indonesia. Meskipun awalnya hanya untuk
memperoleh tenaga administrasi rendahan dan murah, pemerintah kolonial Hindia
Belanda mulai mengembangkan pendidikan. Di beberapa pusat kota baru, pemerintah
kolonial Hindia Belanda
mulai membuka sekolah-sekolah. Meskipun awalnya yang boleh bersekolah adalah
anak-anak priayi, ini merupakan langkah baru bangsa Indonesia untuk memperoleh
pengetahuan baru. Perkembangan pendidikan di Indonesia menunjukkan gairah
setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda melaksanakan kebijakan Politik Etis.
Salah satu kebijakan Politik Etis adalah mengembangkan pendidikan (edukasi) di
Indonesia. Meskipun sekolah-sekolah masih terdapat di kota-kota tertentu,
pengaruhnya sangat luas dan kelak menjadi awal lahirnya Pergerakan Nasional
Indonesia.
Inilah titik awal peranan kota dalam memunculkan
semangat kebangsaan Indonesia sehingga melahirkan organisasi Pergerakan Nasional
Indonesia. Kehidupan masyarakat kota pada umumnya sangat dinamis dibandingkan
kehidupan desa. Kota menjadi tempat bertemunya berbagai jenis budaya,
adat-istiadat, dan ras manusia yang berbeda. Apalagi di kota tersebut terdapat
tempat-tempat yang menarik untuk didatangi. Pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda salah satu yang menjadi daya tarik orang mendatangi suatu kota
adalah adanya sarana pendidikan (sekolah). Dengan bersekolah terbuka peluang
bagi seseorang untuk mengubah status sosialnya. Pada perkembangan berikutnya,
pendidikan menjadi sarana penyadaran nasionalisme Indonesia.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Simpulan
Kota pada zaman sebelum kemerdekaan dulu merupakan pusat
pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan kegiatan negara yang lain. Namun, luas
kota dahulu tidak seluas kota seperti sekaranag. Akan tetapi pola pemukiman
bersifat pluralitas. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu di kota banyak
penduduk yang berdatangan dari berbagai daerah dan dari luar negeri yang
masing-masing mempunyai pola kebudayaan yang berbeda-beda.
Sebagai dampak dari
perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru sesuai
dengan diferensiasi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan
pemerintahan. Banyak fungsi yang memerlukan kejuruan atau keahlian teknologi
seperti yang dibutuhkan dalam pembangunan industri, pertanian,
insfrastruktur,berbagai kedinasan bagi bermacam-macam pelayanan masyarakat. Hal
itu wajar dalam evolusi sosial pada fase menginjak konmersialisasi.
Industrialisasi dan birokratisasi. Sekaligus terciptalah golongan profesional
yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut
stratifikasi sosial masyarakat tradisional.
Proses urbanisasi
sebagai dampak proses birokratisasi, komersialisasi, dan modernisasi pada
umumnya menciptakan konsentrasi penduduk yang berasal tidak hanya dari daerah
sekitarnya, tetapi juga dari tempat-tempat jauh di berbagai penjuru Indonesia,
sehingga terciptalah jaringan hubungan sosial baru yang berbeda sifatnya dari
hubungan sosial yang didasarkan atas ikatan komunal, seperti hubungan desa,
keluarga, suku dll. Komunitas-komunitas dikota-kota menjadi lazim terdiri atas
untuk-unsur profesional dan okupasionalyang mengelompok menurut bidang
pekerjaan masing-masing khususnya, serta menurut status sebagai pejabat pada
umumnya.
Masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang begitu lama telah
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh sosial dan
budaya Barat serta kemajuan ekonomi di Indonesia telah mengubah dan membentuk
pola kependudukan di Indonesia secara modern. Salah satu dampaknya, di
Indonesia mulai lahir desa-desa dan kota-kota modern menggantikan ibu kota
kerajaan menjadi pusat kegiatan masyarakat Indonesia. Kota-kota baru pada
umumnya sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan pusat-pusat
perkebunan. Namun, pada akhir abad ke-19 terjadi
kemajuan pada dunia pendidikan Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Budi
Utomo,Cahyo.1995.Dinamika Pergerakan
Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP
Semarang Press.
·
Ageng.2011.Hubungan
Kehidupan Kekotaan dengan Muncul dan Berkembangnya Pergerakan Kebangsaan
Indonesia. http://www.hubungankekotaandengan
munculnya pergerakan kebangsaan indonesia.html.
Hubungan Kehidupan Kekotaan pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia (1900-1942)
BalasHapus