BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Dasawarsa
pertama abad ke-20 ini dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai periode
kebangkitan nasional, maka pertumbuhan kesadaran yang menjiwai proses itu
menurut bentuk manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu
mulai dengan lahirnya ide emansipasi dan liberal dari serba terbelakang, baik
yang berakar pada tradisi maupun yang tercipta oleh situasi kolonial. Kemudian
menyusul segera ide kemajuan beserta cita-cita untuk meningkatkan taraf kehidupan
bangsa. Pada tahap berikutnya gerakan telah meluas menjadi gerakan total
mencakup segala aspek kehidupan manusia. Yang mencolok sekali adalah secara
eksplisit tidak pernah diutarakan suatu orientasi tujuan politik. Tampaknya
situasi kolonial sebagai akar dari segala keterbelakangan diterima dan tidak
dipersoalkan, meskipun ketimpangan sosial sering mengundang kecaman umum yang
keras, aksi, ataupun protes.
Dalam menentukan orientasi
tujuannya, organisasi-organisasi belum sampai pada fase penegasan identitas
politiknya, antara lain karena masih sibuk dengan konsolidasi ke dalam. Proses
ini berkaitan dengan penentuan identitas umum dari organisasi yang sangat
dipengaruhi oleh lokasi sosial-kultural para anggotanya. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai perkembangan politik dan pertumbuhan organisasi politik pada
awal abad ke-20 tepatnya tahun 1908-1922.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas dapat
ditentukan beberapa rumusan masalah antara lain:
1. Bagaimana proses radikalisasi terjadi?
2. Bagaimana institusionalisasi
politik dan integrasi kaum elite?
3. Bagaimana kristalisasi prinsip dan benih – benih pilarisasi?
4. Bagaimana polarisasi dan radikalisasi 1918 – 1926?
5. Seperti apa tindakan Gubernemen Hindia
Belanda yang penuh
kekerasan?
6. Bagaimana pengaruh dan peranan perhimpunan Indonesia
dalam pergerakan nasional?
1.3
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah berdasarkan rumusan
masalah diatas adalah:
1. Memahami bagaimana proses radikalisasi;
2. Memahami bagaimana institusionalisasi
politik dan integrasi kaum elite;
3. Mampu menjelaskan bagaimana kristalisasi
prinsip
dan benih
– benih
pilarisasi;
4. Memahami bagaimana polarisasi
dan radikalisasi
1918 – 1926;
5. Mampu mendeskripsikan seperti apa
tindakan
Gubernemen
Hindia Belanda yang penuh
kekerasan;
6. Memahami bagaimana pengaruh dan peranan perhimpunan
Indonesia dalam pergerakan nasional.
1.4 Manfaat Penulisan
makalah
Makalah ini disusun dengan harapan
memberikan manfaat baik berupa tambahan pengetahuan serta wawasan kepada
pembaca tentang perkembangan politik dan pertumbuhan organisasi politik 1908-1926,
dan juga semoga memberikan manfaat bagi penulis sendiri.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Proses Radikalisasi
Apabila sekitar tahun 1915 dan 1916
organisasi utama seperti SI dan BO pada umumnya bersikap lunak dan loyal
terhadap gubernemen Hindia Belanda maka dalam tahun-tahun berikutnya tumbuhlah
sikap politik yang semakin radikal, semata-mata sebagai kelakuan reaktif
terhadap politik kolonial yang semakin bertentangan dengan politik etis. Gubernur
Jenderal Van Limburg Stirum yang terkenal dengan politiknya yang
liberal-progresif serta toleran ternyata pada hakikatnya bersikap
paternalistik. Peranan pemimpin Belanda masih merupakan unsur pokok bagi
perkembangan HB. Toleransi itu tidak dapat dijabarkan sebagai tindakan politik
yang realistik dan tegas untuk menghadapi kekuasaan pengusaha perkebunan dan
kaum modal.
Karena pengaruh pemimpin sosialis
dan komunis serta bahasa politiknya yang penuh peristilahan
marxistis-revolusioner maka perjuangan nasional menggeser kearah anti
kolonialisme dan anti kapitalisme yang ekstrem-evolusioner. Dalam konfrontasi
dengan penguasa kolonial yang reaksioner dan konservatif, perkembangan politik
mengarah ke akselerasi konflik. Proses ini agak terhambat dengan adanya tindakan-tindakan
keras gubernur HB terhadap para pemimpin, antara lain Sneevliet, Bergsma,
Semaoen, Darsono.
Baik SI dan BO tidak dapat
terhindar dari proses radikalisasi, setengahnya karena politik kolonial yang
reaksioner, setengahnya karena pengaruh oleh agitasi pemimpin-pemimpin
sosialis-komunis tersebut diatas. Ada faktor penghambat besar yang
menghalang-halangi pendekatan atas solidaritas antara kedua organisasi itu
dengan golongan sosialis-komunis, yaitu perlawanan menentang kapitalisme bagi
SI tidak mungkin mencangkup kapitalisme dalam negeri.
Waktu pada awal tahun dua puluhan
dunia perburuhan dilanda pergolakan dan pemogokan, BO menyatakan solidaritasnya
sehingga mulai dicap revolusioner oleh gubernemen. Orientasi BO kepada massa
dan rakyat telah bangkit sejak kongresnya di Semarang pada 26-28 September
1919, dimana fraksi kaum muda mendesak agar BO menempuh politik kerakyatan.
Dengan ketrampilan politik,
pemimpin-pemimpin antara lain Semaoen, berhasil mempengaruhi organisasi seperti
CSI. Dalam salah satu kongres nasionalnya, karena pengaruh mereka, CSI
menggertak pemerintah kolonial dengan kapitalismenya yang berdosa.
Dengan dipelopori oleh VSTP ( Veereninging Van Spoor-en Tramwegpersoneel
= perserikatan Buruh Kereta Api), maka serikat pekerja lain mulai muncul,
antara lain PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda), PPPB ( Perserikatan Pegawai
Pegadaian Bumiputra), PFB ( Personeel Fabriek Bond ).
Perkembangan ekonomi di Indonesia
mengalami kemajuan pesat antara lain dalam perkebunan, pendidikan, pelbagai kedinasan
dan pelayanan, yang menimbulkan golongan pekerja, buruh, dan pegawai, yang
mengelompok menurut lapangan kerja masing-masing. meskipun termasuk golongan
rendah atau golongan menengah-rendah , fungsi mereka dalam pelbagai cabang
produksi industrial sangat penting dan strategis sekali. Sebagai kekuatan
social ada senjata padanya untuk menggangu proses produksi serta pelayanan,
antara lain dengan aksi pemogokan.
Dalam menghadapi propaganda politik
yang sangat agresif itu ternyata di kalangan organisasi-organisasi pergerakan
ada suasana kebudayaan politik yang merupakan faktor tandingan. Dalam SI
Semanagat religius mulai bergolak menentang bahaya komunisme, sedang bagi
golongan BO yang terkenal sangat moderat itu, jelaslah bahwa kepentingan
anggotanya menolak segala kecenderungan ke arah radikalisme dan terang-teranagn
melawan penguasa kolonial. Maka dari itu yang menjadi perebutan ialah massa
rakyat kecil yang menderita sebagai akibat eksploitasi kolonial dengan
kapitalismenya. Situasi yang semakin memperburuk bagi kaum buruh dan pegawai
rendah sehabis perang dunia I pada satu pihak, ekonomi serta pertanian yang
mengalami masa gemilang pada pihak lain, memberi angin kepada gerakan buruh.
Kepemimpinannya jatuh ke tangan kaum komunis yang terampil sekali mendalangi
aksi-aksi kaum buruh, antara lain pemogokan-pemogokan. Aksi-aksi semakain
digalakkan, antara lain karena politik kolonial dibawah GJ Fock semakin
reaksioner dan konservatif. Dalam konfrontasi ini golongan moderat semakin
terjepit sehingga kehilangan kesempatan untuk berinisiatif.
2.2 Institusionalisasi
Politik dan Integrasi Kaum Elite
Seperti telah diuraikan di atas
pembentukan organisasi-organisasi betapapun terbatas jangkauannya, menciptakan
kesempatan bagi kaum terpelajar tidak hanya mengadakan interaksi, tetapi juga
menimbulkan rasa solidaritas, sehingga organisasi itu sekaligus menjadi wadah
hubungan sosial baru serta berfungsi sebagai tumpuan identitas, sosial,
kultural, dan akhirnya juga politik.
Bertolak dari kesadaran kolekif
suatu kelompok dalam kerangka organisatoris menjalani politisasi, dengan
perkataan lain pola kelakuannya terarah dan ditentukan oleh suatu orientasi
tujuan, maka dengan demikian ada potensi untuk menyatakan kemauan politik
kolektif. Kelakuan kolektif yang dipolakan menurut struktur organisasi
pergerakan nasional mau tak mau mempunyai dampak proses politisasi atau dengan
perkataan lain organisasi pergerakan menjadi wahana institusionalisasi politik.
Apabila pada awalnya BO didirikan
sebagai wadah untuk menampung segala aktivitas dalam pergerakan memajukan
bangsa Indonesia angkatan muda di kalangan siswa STOVIA yang menjadi penggerak
utamanya, maka sejak Kongres Jong Java,
5 Oktober 1908 di Yogyakarta, pimpinan ada di tangan angkatan yang lebih tua
terutama dari golongan aristokrasinya. Pergeseran pimpinan itu dengan
sendirinya berpengaruh sekali pada orientasi politik BO, lebih-lebih setelah
Tjipto Mangoenkusumo dan Soerjodipoetro keluar dari Dewan Pimpinan. Arah tujuan
menjadi semakin konservatif dan moderat.
Meskipun terbatas suasana
pengaruhnya, elite baru mempunyai keterampilan politik tanpa memakai paksaan
atau perintah. Para pemimpin BO telah mendapat kesempatan memperoleh
keterampilan berorganisasi dan perluasannya, ialah keterampilan politik.
Merekalah yang paling terlatih dan berpengalaman pada masa perkembangan politik
yang mulai memerlukan kepemimpinan jenis baru.
Maka dari itu BO lah yang dipandang oleh gubernemen HB yang paling
berpotensi untuk mewujudkan modernisasi politik.
Dalam perkembangan Indische Partij lebih lanjut ternyata
golongan mayoritas pribumi lebih banyak tertarik ataupun terserap ke
organisasi-organisasi lain, sedang unsur Indo-Eropa yang konservatif lebih
cenderung bergabung dengan Indische Bond.
Dengan demikian Indische Partij kehilangan
basis massanya dan akhirnya bubar. Ketiga pemimpinnya, Douwes Dekker, Tjipto
Mangoenkoesumo, dan Soewardi Soerjaningrat menjalani suatu pengucilan di Negeri
Belanada pada tahun 1913.
Van Limburg Stirum yang sangat
idealistis itu tidak ragu-ragu untuk mengangkat beberapa tokoh radikal sebagai
angotanya Dewan Rakyat, antara lain dengan maksud agar tertampung didalamnya
pelbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Diantara kaum
radikal yang diangkat ialah Tjipto Mangoenkoesumo, Tjokroaminoto, Stokvis, dan
Sneevlit. Pada umumnya kaum moderatlah yang memenuhi kualifikasi untuk dipilih
sebagai anggota Dewan Rakyat, sehingga tidak mengherankan apabila Dewan Rakyat
mempunyai mayoritas anggota yang terdiri atas kaum moderat.
Dalam hubungan itu perlu diingat
kenyataan bahwa elite politik terutama ada di kota. Diantaranya golongan priyayi terpelajarlah yang memegang
peranan utama. Lokasi sosial kulturalnya ternyata menempatkan golongan itu
dalam jaringan komunikasi secara sentral dan strategis sehingga dapat memainkan
peranaan utama dalam proses pembentukan Dewan Rakyat. Pimpinan BO dipegang oleh
golongan tersebut, sehingga menonjollah peranannya dalam proses formasi Dewan
Rakyat itu.
Kalau pada Juni 1917 Komite
Nasional yang didirikan oleh BO memperjuangkan suatu pemerintahan parlementer,
maka melalui konsentrasi Radikal yang terbentuk pada 16 November 1918, diajukan
tuntutan agar direalisasikan pembentukan dewan perwakilan yang dipilih oleh
rakyat serta berkuasa penuh sebagai badan legislatif. selanjutnya perlu
dibentuk suatu pemerintahan yang bertanggung jawab penuh kepada perwakilan itu.
Tuntutan itu kemudian secara lebih
terinci diajukan sebagai nota yang pada hakikatya mengarah pada sistem dan
struktur pemerintahan berdasarkan parlementer sepenuhnya. Gerakan ini
dilancarkan dengan maksud agar pusat kekuasaan beralih ke HB, suatu proses
demokratisasi yang pada hakikatnya memuat prinsip otonomi atau kemerdekaan.
Reaksi gubernemen HB menunjukkan
kecenderungan untuk menahan kecepatan perkembangan politik dengan menyatakan
bahwa sebagian rakyat belum siap untuk melakukan hak politiknya. Sebagai
langkah konkret dibentuklah Panitia Perubahan Pemerintahan.
Ditegaskan bahwa yang berwenang
untuk mengadakan perubahan hanyalah badan legislatif Belanda. Nama Van Limburg
Stirum didiskreditkan dan akhirnya dia tidak mempunyai dukungan baik di Belanda
maupun di HB. Sewaktu hasil Panitia Perubahan Sistem Pemerintahan diumumkan,
ternyata perubahan struktur tidak membawa fungsi kekuasaan baru yang mengarah
pada pemerintahan sendiri.
Untuk menyambut peristiwa itu maka
Douwes Dekker dan kawan-kawan mengambil inisiatif untuk mendirikan Panitia
“Otonomi bagi Hindia”. Usulnya ialah agar Belanda, Indonsia dan Suriname,
menjadi suatu federasi dengan memberi kedudukan yang sama kepada unit
masing-masing. Dalam kongres “Seluruh Hindia” di Bandung pada tanggal 3,4, dan
5 Juni 1922 tegas-tegas dinyatakan bahwa “Hindia” berhak menentukan nasib
sendiri meskipun masih dalam hubungannya dengan belanda. Pernyataan itu
sebenarnya mempunyai implikasi bahwa status yang dimaksud itu hanya merupakan
tahap ke arah perkembangan berikutnya yaitu kemerdekaan. Dalam kongres itu juga
Douwes Dekker mengaskan adanya eksploatasi yang terus-menerus, sedang Soewardi
Soerjaningrat mengecam soal penahanan preventif serta hak eksorbitan.
Mulai disadari oleh umum bahwa
perjuangan politik secara moderat tidak akan memberi hasil dalam suatu struktur
kekuasaan kolonial yang dihadapi pada waktu itu. Semakin jelaslah bahwa
penguasa kolonial pada hakikatnya bersikap konservatif dan hendak
mempertahankan status quo, sehingga
tidak dapat diharapkan akan membuat perubahan-perubahan yang berarti. Sebagai
reaksi yang wajar terhadap politik kolonial itu, muncullah ide nonkoperasi yang
dapat dipandang sebagai prinsip politik yang tegas dalam pergerakan nasional.
Dari titik perkembangan politik ini
tampaklah tiga jalur proses akselerasi konflik, yaitu :
1) Gerakan
pemogokan kaum buruh dan pegawai yang dipelopori oleh partai kiri;
2) Tindakan-tindakan
represif oleh peguasa kolonial
3) Semakin
kuatnya kesadaran nasional yang mendorong solidaritas kea rah persatuan
gerakan-gerakan nasional.
Meskipun BO secara konvensional
dipandang sebagai organisasi perintis dalam pergerakan nasional, sesungguhnya
dipandang dari segi ideasional Indische
Partij-lah yang pertama secara terbuka dan eksplisit menyatakan tuntutan
akan kemerdekaan itu.
Dalam majalah Het Tijdschrift Douwes Dekker menyatakan bahwa dalam masyarakat
kolonial gerakan politik yang sehat secara wajar mengarah ke pelaksanaan kemerdekaan.
Sudah barang tentu dalam konteks sosial-politik waktu itu pernyataan tersebut
dianggap sangat radikal.
Suatu puncak perkembangan ideologi kesatuan
dan persatuan adalah semacam manifesto politik yang dikeluarkan oleh
Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922, di mana tercantum prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Di
masa depan perlu dibentuk suatu sistem pemerintahan seperti yang dikehendaki
oleh rakyat sendiri serta bertanggung jawab kepadanya;
2) Sistem
itu perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia sendiri menurut kemampuan serta
tenaga sendiri tanpa mengharapkan bantuan pihak lain;
3) Setiap
perpecahan antara bangsa sendiri harus dicela sekeras-kerasnya dan sebaliknya
perlu diusahakan persatuan untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Dari perumusan di atas nyata sekali
ideologi nasionalisme telah diwujudkan secara semurni-murninya dengan mencakup
didalamnya: (1) ide kesatuan, (2) paham demokrasi, (3) paham swadaya, (4) persatuan
antara segala unsur. Sesungguhnya dapat ditambahkan prinsip nonkooperasi yang
secara implisit ada di dalam konsep swadaya itu. Manifestasi itu dapat
dipandang sebagai titik puncak dari perkembangan ide-ide sebelumnya pada satu
pihak, dan di pihak lain sebagai pangkal tolak perjuangan seterusnya.
Gerakan SI dapat dipandang juga
sebagai gerakan total oleh karena kegiatannya mencakup segala macam bidang,
ialah bidang ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam
tahap-tahap pertumbuhannya SI senantiasa ada di garis depan perjuangan politik,
terutama sejak 1916. Antara 1912-1916 Tjokroaminoto dan para pemimpin SI
lainnnya cukup moderat sikapnya terhadap gubernemen HB. Pada tahun 1912
Tjokroaminoto sangat kooperatif terhadap gubernemen dan dikatakannnya bahwa
tidak bertentangan dengan ajaran agama islam untuk menaati peraturannya. Yang
diperjuangkan ialah menegakkan hak-hak manusia serta meningkatkan taraf hidup
rakyat.
Sejak 1916, pada waktu suasana
menjadi hangat sekitar persiapan pembentukan Dewan Rakyat, dalam kongres-kongres
SI, Tjokroaminoto mulai melancarkan ide seperti pembentukan nation (bangsa) dan pemerintahan sendiri
(self government). Lagi pula
kesempatan ini tepat bagi rakyat untuk menyuarakan sendiri kemauan politiknya.
Aspirasi itu kemudian secara formal
dirumuskan sebagai pernyataan prinsip-prinsip SI dalam kongres nasionalnya di
bandung pada tahun 1917. Diantara pokok-pokok yang penting ialah: (1) agama
islam adalah agama yang mengajarkan ide demokrasi, (2) agama islam merupakan
dasar pokok bagi pendidikan moral dan intelektual, (3) pemerintahan HB tidak
perlu campur tangan dalam bidang agama dan hendaknya tidak membuat diskriminasi
antara agama-agama, (4) rakyat perlu diberi kesempatan berpartisipasi dalam
bidang politik.
Deklarasi prinsip-prinsip SI
merupakan tanggapan tegas terhadap politik kolonial yang dipandangnya diskriminatif
dan paternalistis pada satu pihak, dan pada pihak lain menegaskan pentingnya
asas-asas agama Islam dalam pergerakan nasional, suatu pernyataan yang terutama
ditujukan ke dalam untuk menjaga keutuhan tubuh SI.
2.3 Kristalisasi
Prinsip dan Benih – Benih Pilarisasi
Tahun 1921 merupakan tahun yang
sangat menentukan, yaitu dalam kongres -kongresnya (Maret, Oktober, dan
Desember) SI mempersoalkan disiplin organisasi dengan maksud membersihkan tubuh
organisasi dari tubuh komunis. Dalam hal ini H. Agus Salim-lah yang mempelopori
untuk menempuh garis tegas tersebut. Akhirnya pada tahun 1923 (Februari) di
Madiun didirikan Partai Sarikat Islam dan sekaligus di tegaskan disiplin partai
untuk menolak partai komunis. Untuk tetap mempertahankan pengaruhnya pada
rakyat, Maka PKI mendirikan Sarekat Rakyat sebagai tandingan cabang – cabang
lokal SI.
BO juga menghadapi politik agresif
komunis yang antara lain telah berhasil memindahkan kedudukan pengurus Besarnya
dari Surakarta ke Semarang pada tahun 1965. Hal ini merupakan suatu siasat yang
baik bagi PKI karena dengan demikian BO ada dilingkungan yang penuh semangat
radikal.
Sebelum itu kongres ditempat yang
sama pada tahun 1919, gagallah usaha PKI untuk menjalin kerjasama yang erat
hubungannya dengan BO. Usaha kedua kalinya dlam kongres di Surabaya pada tahun
1924 tidak berhasil juga. Yang menarik adalah bahwa di kalangan generasi muda
lebih kuat kecenderungan untuk mendekati kaum radikal. Baik kewibawaan
pemimpinnya maupun latar belakang sosio – kultur mayoritas anggotanya merupakan
faktor penyebab penolakan kerja sama oleh BO itu.
Satu bidang yang tidak luput dari
penggarapan kaum komunis ialah Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. Justru
sekitar tahun 1920 gerakan bururh mendapatkan angin karena keadaan kehidupan
rakyat dan kondisi kerja sangat memburuk. Namun rupanya organisasi – organisasi
itu telah menyadari akan bahaya infiltrasi yang akan menyeretnya ke dalam
gerakan ekstrem PKI. Oleh karena itu, dalam rapat sarekat buruh / kerja sentral
di Yogyakarta (8 – 10 Juni 1921 ) Darsono terpaksa keluar dari organisasi
sentral itu dan mendirikan badan sentral sendiri.
2.4 Polarisasi dan
Radikalisasi 1918 – 1926
Pada akhir dasawarsa kedua
perkembangan politik mengalami intensifikasi dan ekstensitas, tidak hanya
karena ada peningkatan politik kolonial, tetapi juga karena ada peningkatan
tuntunan politik serta meluasnya mobilisasi politik dikalangan rakyat. Tambahan
pula tersedia kepemimpinan yang di jalankan oleh tokoh – tokoh yang menunjukkan
integritas luar biasa.
Meskipun fokus aktivitas politik
tetap ada pada organisasi pergerakan nasional, namun lewat saluran – saluran
lain dilancarkan pelbagai aksi, seperti aksi pemogokan sarekat pekerja dan
sarekat buruh, protes, deklarasi, dan lain sebagainya.
Di samping itu muncul aktivitas di
bidang ekonomi, sosial dan budaya, seperti pendirian koperasi, sekolah –
sekolah, kursus – kursus pusat latihan kesenian. Mulai disadari bahwa semua
bidang kegiatan itu menjadi saluran yang berfungsi sangat instrumental untuk
meningkatkan kesadaran nasional pada umumnya dan kesadaran pilitik khusunya.
Hal ini lebih dirasakan manfaatnya terutama dalam menghadapi pembatasan
kebebasan berbicara dan berkumpul serta pengekangan kegiatan antara pemimpin
dan aktivitas pergerakan. Setiap bentuk solidaritas akan merupakan simbol
politik seperti lazimnya pada manifesti kolektif.
Sejak dilancarkannya gerakan Indie Weerbaar yang segera disusul oleh
kesibukan sekitar persiapan pembentukan DR ( Dewan Rakyat ), arena politik
meluas sekali serta aktivitas politik menjadi sangat intensif. Permasalahan
sekitar kedua hal itu menjadi fokus konflik politis tidak lain karena timbul
pendirian pendirian yang antagonistis, yaitu pro dan kontra menurut aliran
ataupun orientasi ideologinya. Spektrum politik benar – benar mencerminkan
pluralisme dari masyarakat indonesia. Golongan sosialis dan komunis ada pada
ujung tempat kaum radikal dan ekstrim kiri , sedang golongan BO ada di ujung
tempat kaum moderat. Keduduka SI ada diantara golongan itu. Paling sedikit
sampai tahun 1923 waktu itu ada larangan terhadap keanggotaan rangkap.
Perkembangan dari tahun ke tahun sejak 1918 menunjukkan kecenderungan ke arah
orientasi radikal. Ada beberapa faktor yaang menyebabkannya:
1) Dibidang
politik di Eropa dampak pergolakan politik pasca
perang dunia I di Eropa pada umumnya dan di Negeri Belanda khususnya. Revolusi
Oktober 1917 di Rusia yang disusul
oleh
gerakan revolusioner kaum sosial – demokrat Belanda yang dipimpin oleh
Troelstra memberi inspirasi kepada unsur – unsur progresif di Indonesia yang
bergabung dalam ISDV untuk menuntut pemerintahan sendiri dan perwakilan dengan hak – hak yang
luas. Pidato Van Limburg Strium pada 18 November 1918 memberi angin kepada
semangat revolusioner itu;
2) Dibidang
sosial – ekonomi, perang dunia I mengakibatkan kemacetan pengangkutan hasil
perkebunan sehingga pengusaha
perkebunan mengurangi produksinya dengan akibat banyak rakyat kehilangan
pekerjaan dan pendapatan.
Penderitaan
rakyat bertambah besar lebih – lebih gubernemen membebankan pajak yang
lebih berat kepada rakyat. Kalau sejak 1920 ekonomi membaik karena produksi perkebunan
mendapat pasaran yang baik sekali, kebijaksanaan gubernemen lebih condong
membiarkan pengusaha yang memungut sebagian besar keuntungannya, sedang rakyat
tetap ditekan dengan beban pajak serta hidup dalam kondisi yang merana;
3) Proses
politisasi lewat organisasi, kongres, media massa memperoleh rangsangan dari
proses memburuknya kondisi sosial – ekonomi rakyat. Lewat garis organisasi
serikat buruh dan serikat pekerja sekerja ada kesempatan untuk memobilisasikan
rakyat tingkat bawah, karena statusnya
sebagai komponen sangat fungsional dalam sistem produksi ekonomi kolonial.
Sesuai dengan struktur ekonomi dualistisnya, ekonomi perkebunan sebagai tulang
punggung politik eksploitasi daerah jajahan tetap menuntut tenaga kerja yang
murah, sehingga
dalam situasi ekonomi bagaimanapun kepentingan kaum pengusaha perlu dijamin,
sedang kaum buruh sebanyak – banyaknya ditekan.
4) Bertolak
dari prinsip bahwa kepentingan kaum modal perlu di lindungi maka politik
kolonial yang dijalankan oleh GJ Fock mau tak mau bersifat raksioner dalam menghadapi aliran –
aliran politik serta segala manifestasinya seperti yang direalisasikan oleh
organisasi – organisasi pergerakan nasional. Adalah suatu proses wajar apabila dalam
hubungan penuh konflik kepentingan itu timbul peningkatan sikap reaksioner pada
satu pihak dan radikalisme di pihak lain.
5) Memburuknya
kondisi hidup pada umumnya dan kondisi kaum buruh khususnya menciptakan iklim
yang penuh kegelisahan serta keresahan dikalangan rakyat sehingga ada
kecenderungan kuat mengikuti himbauan para pemimpin untuk aksi –aksi,
antara lain pemogokan. Sudah barang
tentu pemimpin – pemimpin radikal ISDV, VSTP, PKI, sangat aktif dalam
propaganda untuk melakukan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Secara terus – menerus
mereka berusaha membawa organisasi ke arah radikalisme dan polarisme.
2.5
Tindakan Gubernemen Hindia Belanda Penuh Kekerasan
Dalam menghadapi aksi-aksi yang
dilancarkan oleh organisasi-organisasi pergerakan nasional yang semakin gencar
dan radikal itu, pemerintah kolonial merasa semakin terancam kedudukan serta
otoritasnya sehingga tidak segan-segan melakuan tindakan tegas terhadap
aksi-aksi tersebut.
Suatu manifestasi dari politik
reaksioner seperti tindakan gebernemen HB terhadap ketiga pemimpin Indische Partij sehabis berkongres,
yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan soewardi Soerjaningrat. Pidato
yang diucapkan oleh Douwes Dekker
didepan muktamar itu secara pedas dan tajam mengkritik situasi
masyarakat kolonial yang penuh ketidakadilan, perbedaan antar ras, ketimpangan sosial-ekonomi.
Perundang-undangan yang sangat menekan, dan lain sebagainya. Tjipto
mangoenkoesoemo memberi uraian tentang sejarah serta tata susila bangsa Jawa.
Pada 18 Agustus 1913 keluarlah surat keputusan HB untuk mengintenir ketiga
tokoh itu.
Tidak berbedalah nasib para pemuka
golongan kiri, baik Belanda maupun Indonesia, yang satu per satu terkena aksi
pembersihan pemerintah, antara lain dipecat dari pekerjaan atau di usir dari HB.
Agitasi mereka menjadi kekuatan untuk memobilisasi rakyat kecil, termasuk kaum
buruh yang merupaan kunci dari roda industri perkebunan. Mengingat kedudukan
investasi modal di dalamnya sebagai tulang punggung sistem kolonial, maka
pemerintahan HB sangat sensitif dalam hal ini sehingga cenderung untuk menindas
setiap aksi ataupun gerakan kaum buruh. Kaum komunis semakin aktif dalam
agitasinya dalam serikat buruh, antara lain karena disadari bahwa lewat aksi
politik tidak ada hasil yang dicapai. Dalam pemerintahan Gubernur Jenderal Fock
para pemukanya seperti Tan Malaka, Semaoen, Darsono secara berturut-turut
dikenakan internering (1922-1923).
2.6 Peranan dan
Pengaruh Perhimpunan Indonesia Dalam Pergerakan Nasional
Mengenai analisis tentang peranan PI
lebih lanjut perlu diutarakan dua faktor yang turut menentukan orientasinya,
yaitu:
1) Sebagai
unsur yang berasal dari kalangan aristrokasi, mereka menyadari bahwa generasi
tua diperalat oleh penguasa kolonial untuk menekan dan mengeksploitasi rakyat
sendiri, suatu peranan yang di mata mereka tidak pantas dan tidak akan mereka
jalankan.
2) Suatu
ironi dalam perkembanagan elite disini ialah apa yang dicita-citakan oleh
generasi tua justru di cemooh oleh generasi muda yang sekaligus menjadi counter elite.
Sikap politik para anggota PI di
pengaruhi oleh kesempatan yang leluasa. Berkontak secara inisiatif dan terus
menerus dengan tokoh – tokoh pergerakan nasional yang mengalami pembuangan di
Negeri Belanda, sehingga dengan sendirinya membawa orientasi radikal atau paling
sedikit progresif seperti kehadiran Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo,
Soewardi Soerjaningrat dalam tahun belasan, kemudian Semaoen, Darsono dalam
tahun dua puluhan. Pengalaman tokoh – tokoh itu tidak hanya secara langsung
menambah informasi tentang keadaan perjuangan, tetapi pengaruh yang memancar
dari tokoh – tokoh dengan kepribadian serta kepemimpinan yang menonjol
memberikan inspirasi yang lebih besar kepada para mahasiswa, Sehingga kerelaan
untuk menderita karenanya tidak luput meninggalkan kesan yang mendalam pada
pribadi mereka.
Dengan deklarasi prinsip – prinsipnya, PI sekaligus memainkan
peranan sebagai barisan depan pergerakan nasional. Bertolak dari paham bahwa
pada hakikatnya sistem kolonial mengandung pertentangan kepentingan antara penjajah
dan yang dijajah, maka dalam pergerakan nasional perlu dipertajam dan
ditekankan.
Kewibawaan PI itu terbukti dari
langkah PKI untuk membuat kontak politik dengan PI yang menentukan bahwa:
1) PKI mengakui dan tunduk kepada pimpinan PI
serta berjanji tidak melkukan oposisi terhadap usaha-usaha PI;
2) PI sebagai partai nasional bertanggung jawab
penuh atas perjuangan nasional. Tetapi ternyata kemudian kontrak itu ditiadakan
oleh Semaoen pada tahun 1926.
Dikalangan internasional, PI
memainkan peranan serta melakukan propaganda bagi perjuangan melawan
kolonialisme dan imperialisme , antara lain dengan menghadiri pertemuan dari
perkumpulan Studi Peradaban di Paris (1925), dan kemudian rapat Liga Anti –
Kolonialisme di Brussel (1927). Suatu kontak yang sangat penting ialah dengan All Indian National Congress yang
memegang peranan penting dalam perjuangan bangsa india melawan kolonialisme
Inggris.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sekitar tahun 1915 dan 1916
organisasi utama seperti SI dan BO pada umumnya bersikap lunak dan loyal
terhadap gubernemen Hindia Belanda maka dalam tahun-tahun berikutnya tumbuhlah
sikap politik yang semakin radikal, semata-mata sebagai kelakuan reaktif
terhadap politik kolonial yang semakin bertentangan dengan politik etis, sedangkan
Elite baru mempunyai keterampilan politik tanpa memakai paksaan atau perintah.
Para pemimpin BO telah mendapat kesempatan memperoleh keterampilan
berorganisasi dan perluasannya, ialah keterampilan politik. Merekalah yang
paling terlatih dan berpengalaman pada masa perkembangan politik yang mulai
memerlukan kepemimpinan jenis baru.
Peranan Perhimpunan Indonesia dalam
pergerakan nasional yakni dengan deklarasi
prinsip – prinsipnya, PI
sekaligus memainkan peranan sebagai barisan depan pergerakan nasional. Bertolak
dari paham bahwa pada hakikatnya sistem kolonial mengandung pertentangan
kepentingan antara penjajah dan yang dijajah, maka dalam pergerakan nasional
perlu dipertajam dan ditekankan. Dikalangan internasional, PI juga memainkan
peranan serta melakukan propaganda bagi perjuangan melawan kolonialisme dan
imperialisme.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, 1999.
Marwati Djoened Poesponegoro: Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V.
Balai Pustaka. Jakarta, 2008.
Mohamad Sidky Daeng Materu, S.H, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia.
Gunung Agung. Jakarta, 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar