Minggu, 14 Desember 2014

Eksplanasi Sejarah



BAB 1. PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Deskripsi dan eksplanasi kerap dipersamakan, padahal keduanya memiliki perbedaan. Deskripsi merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa Sejarah, meliputi apa (what), dimana (where), kapan (when), dan siapa (who). Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual tentang sebuah peristiwa.
Di sisi lain, eksplanasi merupakan perluasan pertanyaan faktual untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah peristiwa. Mengapa (why) dan bagaimana (how) merupakan pertanyaan analisis-kritis yang juga menuntut jawaban analisis-kritis yang bermuara pada penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual karena eksplanasi tanpa deskripsi adalah fantasi.
Ekspalansi sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodolgi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan  menjelaskan hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada.
Ucapan mengenai fakta-fakta historis merupakan deskripsi-deskripsi mengenai masa silam. Tetapi, seorang ahli sejarah tidak membatasi diri pada usaha melukiskan masa silam, ia juga berusaha memikirkan suatu keterangan atau penjelasan yang masuk akal, mengenai apa yang terjadi pada masa silam. Secara prinsip pertanyaan itu harus di beri jawaban secara objektif dan yang masuk akal.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dapat diketahui sebagai berikut:
1)      Bagaimana hakekat dari Eksplanasi Sejarah ?
2)      Bagaimana periodisasi atau pembabakan dalam sejarah ?
3)      Bagaimana model-model dari Eksplanasi Sejarah ?

1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
1)      Mengetahui hakekat dari Eksplanasi Sejarah;
2)      Memahami bagaimana periodisasi atau pembabakan dalam sejarah;
3)      Mengetahui dan memahami model-model dari Eksplanasi Sejarah.

1.4  Manfaat Penulisan makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik berupa tambahan pengetahuan serta wawasan kepada pembaca tentang “Pandangan dan Pemikiran Filsafat Sejarah Kritis Mengenai Eksplanasi Sejarah”, dan juga semoga memberikan manfaat bagi penulis sendiri.





BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Hakekat Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan yang tepat pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements).  Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Penjelasan sejarah ialah usaha membuat unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas). Kata “analisis ” memang juga dipakai secara bergantian dengan “penjelasan”, di antaranya oleh Marc Bloch, terutama ketika orang menganalisis hubungan kausal antara gejala sejarah. Akan tetapi, karena kata “penjelasan” lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan kata “analisis” tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka di sini dipakai kata “penjelasan”.
Eksplanasi sejarah merupakan kegiatan yang menghubungkan atau mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya melalui penggunaan pernyataan yang tepat dan bersifat umum. Berangkat dari penjelasan umum tersebut maka dilanjutkan dengan penjelasan ilmiah dan penjelasan sejarah. Penjelasan ilmiah dimulai dengan observasi (pengamatan), berakhir dengan konsep-konsep umum (generalisasi), dimana gejala dilihat sebagai dalam kerangka suatu penegakan generalisasi. Sedangkan penjelasan dalam sejarah berupaya untk menyelami apa yang ada di dalam suatu peristiwa ( dapat menghayati peristiwa sebenarnya dari dalam). Bagian dalam suatu peristiwa adalah pikiran yang ada dibalik wujud fisik.
Sedangkan bagian luar peristiwa sejarah adalah wujud fisik atau gerak dari suatu peristiwa. Eksplanasi sejarah terdiri dari beberapa bagian yaitu konsep, fakta, kontruksi, dan sebab. Konsep adalah kesimpulan dari gejala-gejala dalam suatu peristiwa sejarah. Fakta adalah suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen sejarah dan dianggap credible (dapat dipercaya). Setelah melalui tahap pengujian sesuai hukum metode sejarah. Kontruksi adalah pembentukan atau penggambaran suatu peristiwa sejarah.
Sebab terbagi menjadi dua bagian, pertama sebab langsung dan kedua sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah pemicu peristiwa sejarah yang dapat diketahui dengan observasi, pengamatan, ataupun perekaman. Sedangkan sebab tidak langsung merupakan pemicu terjadinya peristiwa sejarah yang tidak dengan begitu saja dapat dibuktikan namun sebab tidak langsung inilah yang merupakan bagian terpenting dalam pembentukan fakta sejarah. Penyusunan fakta sejarah tidak terlepas dari konsep, ketiga hal ini merupakan bagian terpenting dalam kontruksi sejarah. Ekspalansi sejarah secara pradikmatikal terdiri atas ekspalandum (ekspalandum), atau pernyataan untuk memberikan ekspalansi dan eksplans atau perangkat pernyataan untuk memberikan ekspalansi.
Terdapat dua perangkat masalah yang timbul dalam tugas eksplanasi, diantaranya sebagai berikut:
1)      Masalah menghubungkan fakta antara satu dengan yang lain. Dalam sosiologi dan disiplin-disiplin semacam unit-unit analisis yang relasional disebut variabel;
2)      Masalah memahami kaitan antara hal- hal yang saling berhubungan. Disini terlihat, eksistensi fakta merupakan bahan pokok untuk teori-teori kehidupan sosial.
2.1.1 Deskripsi dan Eksplanasi
Secara tuntas deskripsi dan keterangan atau eksplanasi tidak dapat di bedakan satu sama lain. Sebuah laporan faktual mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus 1914 di Eropa mengenai indikasi mengenai sebab meletusnya perang dunia I. Laporan itu mengatur fakta-fakta tertentu, dapat memperlihatkan, bahwa baik mobilisasi tentara Rusia maupun keinginan staf angkatan darat Jerman yang tidak mau buang waktu, menentukan perkembangan seterunya. Mengingat hal itu, maka terdapat filsuf-filsuf sejarah yang mengatakan bahwa secara prinsip mustahil membedakan deskripsi dari keterangan. Menurut mereka, sederetan ucapan singular sudah mampu menerangkan sesuatu atau mempunyai kemampuan eksplikatif. Akan tetapi, biasanya para ahli berpendapat bahwa keterangan dan deskripsi secara hakiki berbeda dari yang lain.
Sementara itu, para sejarawan berpendapat lain, bahwa eksplanasi dan deskripsi secara hakiki berbeda satu sama lainnya. Hakekat suatu eksplanasi sejarah selalu berkaitan antar dua deskripsi mengenai keadaan pada masa silam. Kaitan tersebut selalu berobyek pada kedua deskripsi, dalam sebuah eksplanasi bukan merupakan suatu deskripsi mengenai sesuatu dalam kenyataan sejarah. Deskripsi itu merupakan rangkaian peristiwa dan terdapat unsur akibat yang ditimbulkan. Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Maka sejarawan harus jujur, tidak menyembunyikan data, dan bertanggung jawab terhadap keabsahan data – datanya.
2.2 Periodisasi atau Pembabakan                                                    
Periodisasi adalah konsep sejarawan semata – mata, suatu produk mental yang hanya ada dalam pikiran  sejarawan, suatu ideal type. Periodisasi adalah hasil pemikiran kompratif antara satu periode dengan periode lainnya setelah sejarawan melihat ciri khas suatu kurun sejarah. Periodisasi umumnya akan membagi sejarah menjadi tiga periode, yaitu Ancient, Middle , dan Modern. Untuk sejarah Eropa, Acient adalah Yunani Romawi, Middle adalah Feodalisme dan Modern adalah Renaisance.
Ada perbedaan bagi setiap aspek sejarah dalam luas wilayah, rentang waktu dan variasi juga terdapat dalam periodisasi sejarah. Seperti diketahui bahwa periodisasi sejarah indonesiapun dibagi kedalam tiga bagian yang biasanya disebut dengan Prasejarah, Hindu-Budha dan Modern. Nekara dari prasejarah penyebarannya hanya diwaktu tertentu dan tidak merata. Kehidupan prasejarah masih ada di suku-suku terasing ketika indonesia sudah sampai periode modern. Kepercayaan yang berasal dari periode hindu-budha masih terdapat sampai sekarang. Variansi agama juga banyak. Jadi periodisasi bukanlah tutup layar dan buka layar tetapi ada perbedaan perkembangan aspek sejarah dan ada dickontinuity dan continuity.
Periodesasi dalam histiografi Indonesia semula bersifat konvensional-prasejarah. Kuno (indianisasi), tengah (islamisasi), Modern (pembaratan). Baik seluruh atau hanya satu periode. Maka dari itu periodesasi panjang tidak harus mengenahi satu unit sejarah seluruhnya secara Konprehensif tetapi bisa salah satu aspeknya. Periodisasi juga tidak harus panjang, bisa satu sub-aspek yang kecil dibuatnya periodesasinya. Periodesasi adalah penjelasan sejarah.
2.3  Model – Model Eksplanasi Sejarah
Model-model dari eksplanasi sejarah sangat bervariasi, dalam buku Refleksi Sejarah F.R. Ankersmit membagi model-model eksplanasi sejarah menjadi tiga model, diantaranya adalah Covering Law Model (CLM), Hermeneutika, dan Kausalitas.
2.3.1  Covering Law Model (CLM)
a) Hakekat CLM
Sekalipun istilah CLM dikaitkan dengan nama dua orang filsuf abad ke-20 ini, yakni Karl Popper dan C.G. Hemple, namun sebetulnya modul ini lebih tua. David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia (1712-1776) merumuskan modul pertama mengenai CLM. Pada abad ke -18 banyak orang terkesan oleh prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh ilmu alam. Maka masuk akal kalau ada ide untuk menerapkan metode-metode dan penelitian ilmu alam terhadap masyarakat manusia. Ada pertimbangan-pertimbangan lain yang ikut memainkan peranan. Seperti alam raya tetap sama, tetap setia terhadap kodratnya, demikian pula kodrat manusia tidak dapat berubah. Seperti alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian pula perbuatan-perbuatan manusia tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu yang “konstan dan universal”, demikian tulis Hume. Hume menganjurkan agar metode-metode yang di gunakan dalam ilmu alam juga diterapkan terhadap perbuatan manusia. Auguste Comte seorang filsuf dari abad ke-19 (1798-1857) berpendapat bahwa cara kerja seorang peneliti sejarah harus sama dengan metode kerja seorang peneliti alam raya. Itulah yang di rumuskan Comte dengan istilah “Positivisme”. Bila di rumuskan secara umum maka menurut positivisme hanya terdapat satu jalan dalam memeperoleh pengetahuan yang benar dan dapat di percaya, entah apa objek penelitian kita (alam hidup, alam mati, sejarah dan sebagainya), yakni menerapkan metode-metode ilmu eksata.
Supaya CLM dapat kita tafsirkan dengan tepat maka perlu di pertimbangkan sebagai berikut:
(1)   Skema penalaran CLM diasalkan dari logika formal dan terkenal sebagai kaidah “modus ponen” skema penalaran yang berjalan dari (1) ke (2) kemudian ke (3) hendaknya di bedakan dari ucapan di bawah (1). Yang tercakup oleh (1) menunjukkan suatu pola hukum empiris, tidak niscaya benar secara logis. Bukan logika melainkan pengamatan empiris. Sifat logis sebuah skema penalaran jangan di kacaukan dengan isi empiris dalam ucapan (1),(2),(3). Karena dalam CLM eksplandum disimpulkan lewat sebuah deduksi logis dari sebuah ucapan nomologis (nomos = hukum, yang bersifat pola hukum), maka CLM juga sering di sebut “modul deduktif-nomologis”.
(2)   Semua pola hukum yang muncul dalam premis pertama, harus di konfirmasikan (diperkuat,diakui) oleh semua fakta yang kita kenal dan yang relevan atau sekurang-kurangnya tidak berlawanan dengan fakta itu. Andaikata kita mengetahui dari sejarah bahwa terdapat sejumlah bangsa yang tidak menyerah kalah, sekalipun dilawan oleh musuh yang unggul secara militer, maka pola hukum yang menerangkan mengapa pihak Belanda demikian cepat menyerah kalah terhadap tentara jepang, tidak boleh kita pergunakan. Dalam kedua kaitan ini kedua pola hukum “semu” perlu di tolak. Misalkan akan pola hukum segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Tuhan. Keberatan terhadap pola hukum ini bukan karena bertentangn dengan fakta-fakta yang kita ketahui melainkan justru karena hukum ini tak pernah dapat bertentangan dengan fakta-fakta. Baik terjadi peristiwanya P maupun tidak terjadinya P dapat diterangkan dengan pola hukum bahwa segala sesuatu terjadi menurut takdir Tuhan. Dengan pola hukum ini apa saja dapat diterangkan. Akan tetapi pola hukum serupa itu tidak bisa membantu kita, bila kita ingin memperdalam pengetahuan kita mengenai masa silam, kita menanyakan sebab musabab mengapa ini terjadi dan bukan itu. Pola hukum ini membuktikan terlalu banyak dan sesuai dengan sebuah pepatah Perancis barang siapa ingi membuktika terlau banyak tidak membuktikan apapun. Selain itu, bukan pola hukum atau kebenaran melainkan kegunaan pola hukum itu dalam penelitian sejarah yang kita permasalahkan. Mungkin juga pola hukum itu benar atau sah, tetapi itu merupakan masalah bagi para teolog dan metafisisi. Yang menentukan ialah dalam praktek pengkajian sejarah pola hukum semu iti tidak dapat di pergunakan.  
(3)   Pola pola hukum selalu mengungkapkan bahwa suatu peristiwa (sebab) di susul oleh suatu jenis peristiwa lain (akibat). Dua macam peristiwa selalu kita amati bersama-sama. Seketika itu kita menyadari hal itu maka kita mengerti bahwa dalam menentukan dan merumuskan pola-pola hukum kita mudah sekali tergelincir. Misalnya sebagai berikut: selalu, bila terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi dua akibat. Kita dengar suara terbenturnya dua buah besi, kemudian kita lihat kedua buah mobil itu reyot-reyot. Berhubung kedua akibat itu selalu terjadi bersama-sama, maka kita tergoda untuk mengadakan hubungan kausal antara dua akibat itu. Suara menyebabkan kereyotan atau sebaliknya. Bila kita menyusun pola-pola hukum kita harus menghindari ketololan serupa itu. Tidak semudah seperti kecelakaan lalu lintas tadi. Kadang-kadang sukar sekali menentukan dalam praktek apakah kita berhadapan langsung dengan hubungan sebab akibat atau dua akibat yang di timbulkan oleh satu sebab.
(4)   CLM membuka jalan untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh peristiwa itu termasuk satu jenis peristiwa tertentu. Ini berarti bahwa dengan modul CLM sebuah peristiwa tidak pernah diterangkan dalam segala kompleksitasnya dan segala keunikannya tetapi hanya sejauh peristiwa itu mempunyai sifat-sifat tertentu sehingga termasuk dalam suatu kategori atau jenis peristiwa yang selalu mempunyai sifat-sifat itu bersama-sama. Ini terlihat ketika kita merumuskan kembali CLM. Dalam perumusan kembali itu peristiwa unik atau hal-hal individual.  Dengan kata lain CLM hanya menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh itu berkenaan dengan aspek-aspek dalam peristiwa itu yang secara eksplinsit disebut dalam pola hukum. Misalnya mengenai kapitulasi belanda pada bulan Maret 1942. Hukum umum yang kita gunakan dalam peristiwa itu hanya menyebut kapitulasi-kapitulasi bila terjadi konfrontasi bila terjadi kekuatan militer yang jauh lebih unggul. Keterangan sesuai CLM hanya menerangkan aspek-aspek lain dalam peristiwa itu dan apakah kapitulasi itu bagi seluruh wilayah Hindia Belanda. Ini tidak berarti aspek-aspek itu tidak dapat di terangkan melainkan bahwa untuk diperlukan pola-pola hukum lain. Akan tetapi pernyataan ini di tafsirkan. Bahkan peristiwa-peristiwa tidak dapat diterangkan dalam segala kompleksitas dan individualitasnya yang unik, tidak berarti, bahwa dengan bantuan modul CLM tidak dapat diterangkan peristiwa-unik dan individual.
(5)   Dalam CLM tidak dikatakan apapun mengenai kedudukan si juru penerang, dalam arus waktu terhadap peristiwa yang di terangkannya. CLM tidak mengatakan apakah peristiwa yang diterangkannya terjadi pada masa silam, masa kini, atau pada masa depan. Maka dari itu dapat dibayangkan bahwa CLM digunakan untuk mengadakan ramalan-ramalan tertentu mengenai masa depan. Bila kita mempergunakan modul CLM maka keterangan-keterangan mengenai peristiwa-peristiwa pada masa silam dan ramalan-ramalan mengenai masa depan mempunyai struktur yang sama. Bila di pandang dari sudut itu maka sebuah keterangan dapat di namakan suatu ramalan sudah terjadi peristiwa (factum). Kata ramalan disebut “preiksi” maka sebuah keterangan historis juga dapat di namakan suatu retodiksi (retro=belakangan, kembali). Berbicara mengenai ramalan-ramalan perlu di catat suatu kesukaran. CLM hanya menerangkan beberapa aspek dalam peristiwa-peristiwa. Akibatnya bahwa dengan CLM juga hanya dapat meramalkan beberapa aspek mengenai masa depan. Mengenai krisis-krisis internasional yang diramalkan tidak dapat dikatakan apapun mengenai sifat dan keseriusannya. Tetapi berdasarkan CLM kita hanya dapat mengatakan sesuatu yang sangat umum mengenai masa depan. Ramalan mengenai masa depan tidak berkaitan dengan peristiwa-peristiwa unik dan individual seperti halnya dengan keterangan mengenai peristiwa pada masa silam.
(6)   Kemudian, kita harus mencatat sesuatu mengenai sifat dan jangkauan pola-pola hukum yang di pergunakan dalam CLM. Dalam filsafat sejarah spekulatif seperti marxisme disebut mengenai adanya pola-pola hukum umum yang menguasai proses sejarah. Akan tetapi para penganut CLM menyusun teori-teori mengenai pola-pola hukum umum. Hempel mendevinisikan pola hukum umum sebagai sebuah ucapan universal, tetapi kondisional yang dapat di benarkan atau di bantah menurut pengamatan empiris. Pola hukum umum yang diamati Marx dalam proses sejarah ialah sejarah melewati beberapa tahap (dunia klasik, feodalisme, masyarakat borjuis kapitalis, kemudian sosialisme). Pola-pola hukum umum seperti di maksudkan oleh para penganut CLM selalu berkaitan dengan apa yang dapat terulang kembali dalam kenyataan historis dan rumusnya selalu berbunyi “selalu, jika…maka...”. ini berarti bahwa jangkauan pola hukum seperti di maksudkan oleh para filsuf sejarah spekulatif berkaitan dengan garis besar dalam seluruh proses sejarah sedangkan keterangan-keterangan mengenai peristiwa-peristiwa singular dan individual, dengan sendirinya lebih terbatas jangkauannnya.
(7)   Jangkauan pola hukum dalam modul CLM oleh W.H. Dray dan M. Mandelbaun di batasi lagi. Pola hukum hanya meliputi bagian-bagian dalam peristiwa yang harus di terangkan tetapi tidak peristiwa itu sendiri. Kebanyakan kasus seorang peneliti sejarah praktis dipaksa menempuh jalan seperti disarankan oleh Dray dan Mandelbaum. Misalnya mencari sebab-sebab melakukan proses dekolonisasi. Sesudah perang dunia dunia II maka dengan sia-sia akan mencari pola-pola umum bagi proses dekolonisasi. Akan tetapi proses dekolonisasi yang majemuk itu dipecahkannya menurut komponen-komponennya maka ia berhadapan dengan sejumlah peristiwa yang saling dapat di kaitkan dengan pola-pola hukum (sebagai akibat dari perang dunia II negara-negara kolonial tidak kuat lagi kedua negara adikuasa tidak memiliki koloni-koloni oleh karena itu tidak berminat mempertahankan tata pemerintahan kolonial, nasionalisme di daerah-daerah jajahan merongrong kekuasaan negara-negara kolonial dan seterusnya).
(8)   Hempel melihat bahwa para ahli sejarah jarang atau tak pernah memberikan keterangan-keterangan yang seratus persen serasi dengan syarat-syarat CLM. Demikian para ahli sejarah jarang menyebut pola hukum umum yang menjadi dasar penalaran mereka. Seorang ahli sejarah membatasi diri pada ucapan “ karena raja George I dan II (yang berasal dari Hanover) kurang berminat terhadap kejadian-kejadian di Inggris, maka kekuasaan parlemen dapat di perluas dengan mengurangi kekuasaan raja. Para ahli sejarah tidak pernah menyebut pola hukum itu karena demikian gamblang sehingga oleh pembaca sendiri dapat diandaikan. Maka dari itu kata Hempel keterangan-keterangan historis biasanya hanya berupa keterangan dalam bentuk sketsa, artinya masih harus dirinci dan dilengkapi. Sebetulnya tak ada keberatan bila perincian itu tidak dilakukan tetapi pada prinsipnya harus terbuka jalan untuk mengadakan perincian itu supaya keterangan yang bersangkutan dapat di terima.

2.3.2  Perbaikan – Perbaikan dalam CLM
Barang siapa tanpa praduga memandang tulisan-tulisan sejarah tidak akan menjumpai dengan banyak tulisan yang memenuhi syarat-syarat CLM. Adapun tugas filsafat sejarah memberikan kesan bagaimana serang peneliti sejarah bertindak bukan untuk mengguruinya. Sebagai akibat adanya jarak antara praktek pengkajian sejarah dan CLM yang murni maka diusulkan dalam perbaikan dalam modul CLM itu. Usul-usul terpenting akan di bahas di bawah ini:
a) 1) Keterangan probabilitis. Pencairan pertama di sebut keterangan probabilistis (probabilis = masuk akal, bisa juga terjadi begitu). Dalam CLM yang asli di tuntut pola-pola hukum yang universal yaitu pola-pola hukum yang mencakup semua kasus (peristiwa yang satu selalu disusul dengan jenis peristiwa lain). Akan tetapi dalam bidang kelakuan manusia nampaknya agak kurang realistis menuntut adanya pola-pola hukum universal setiap pola hukum dalam kelakuan dan perbuatan manusia dapat diterobos perkecualian-perkecualian. Misalnya pada tahun 1975 republik Belanda hanya memberi perlawanan terbatas ketika di masuki oleh pasukan-psukan Perancis. Siasat yang paling mudah dalam kasus-kasus itu ialah melacak. Pola hukum yang tidak benar atau kurang tepat dapat diganti dengan satu atau beberapa pola hukum yang selaras dengan fakta-fakta yang kita ketahui. Misalnya dalam kasus diatas pola hukum “setiap bagsa akan melawan musuh dari luar negeri” dapat diganti dengan dua pola hukum lain.
2) Bila bangsa yang satu bermaksud untuk menaklukkan bangsa lain, maka bangsa lain itu akan memberi perlawanan.
3) Bangsa-bangsa tidak (atau kurang kuat) memberi perlawanan terhadap penyerang dari luar, bila pihak penyerang itu dianggap akan membawa kemerdekaan politik.
Dengan pola hukum kedua sikap republik Belanda terhadap Perancis dapat diterangkan secara memuaskan. Singkatnya, pertentangan antara peristiwa yang harus diterangkan di satu pihak dan pola hukum umum yang sepintas kelihatan relevan di lain pihak dapat mengajak kita untuk memperluas perangkat pola=pola hukum umum serta merincikannya, sehingga peristiwa yang semula menyeleweng dari pola hukum itu akhirnya dapat diterangkan dengan sebuah pola hukum umum.
Harus diakui siasat ini mempunyai segi-segi negatif. Dalam keadaan serupa itu kita harus puas dengan pola-pola hukum yang memberi peluang bagi kekecualian. Pola hukum serupa itu di sebut pola hukum probabilitas artinya pola-pola hukum yang dengan “kepastian” statistik mengaitkan sebab tertentu dengan akibat tertentu.
b) Perbaikan yang di usulkan oleh Gordiner.
Perbaikan CLM yang di usulkan oleh Gordiner seorang Filsuf sejarah Inggris mirip dengan perbaikan probabilistis. Gardiner mengatakan bahwa pola-pola hukum yang di pakai oleh para peneliti sejarah sering “bocor” tidak tertutup rapat seratus persen. Karena adanya perkecualian maka setiap pola hukum ada kebocorannya. Maka dari itu Gardiner seorang peneliti sejarah harus menerangkan masa silam dengan pola hukum yang berlubang-lubang sesedikit mungkin. Menerangkan masa silam menuntut seorang ahli sejarah, bakat (yang sukar didefinisikan) untuk menaksir sifat situasi yang ingin diterangkan suatu bakat untuk menilai.
Dalam praktek pengkajian sejarah seorang peneliti sejarah akan selalu berusaha melukiskan masa silam sedemikian rupa, sehingga dapat ditemukan pola-pola hukum yang masuk akal paling dapat diandalkan dan paling umum yang dapat dikaitkan dengan deskripsi-deskripsi menurut syarat-syarat CLM. Sebuah contoh yang diajukan Danto dapat menerangkan hal ini. Bayangkan bahwa kita pada suatu hari tertentu lebih dari tiga puluh tahun berjalan-jalan di kota Monako lalu melihat di mana-mana bendera Monako selalu dikibarkan bersama dengan bendera Amerika serikat. Kita lalu bertanya mengapa orang Monako bebuat demikian bila eksplanadum dirumuskan sebagai pada saat ini dan dikota ini orang-orang monako selalu mengibarkan benderanya bersama dengan bendera AS, maka dalam rumusan itu tidak terdapat suatu hukum umum yang dapat menerangkan eksplanadum ini. Dalam peristiwa sejarah jarang atau tidak pernah terjadi orang-orang Monako mengibarkan bendera negaranya bersamaan dengan bendera AS. Tetapi bila eksplanadum ini di rumuskan dengan umum dan tidak begitu terperinci misalnya para penduduk suatu negara menghormati negara lain (dengan mengibarkan bendera negara itu) maka tersedia suatu pola hukum umum yang dapat diandalkan. Kita dapat membayangkan suatu pola hukum umum atau hukum probabilitas selau bila raja suatu negara menikah dengan putri suatu negara lain maka para penduduk negara pertama menghormati negara lain. Dalam deskripsi-deskripsinya sorang ahli sejarah harus mencari budang yang sempit tetapi paling optimal antara yang umum dan yang khas sambil memperlihatkan di mana ia akan menerangkan keadaan-keadaan perkembangan-perkembangan serta situasi-situasi.
c) Perbaikan yang di usulkan oleh Scriven dan White,
M. Scriven dan M. Whitefilsuf sejarah dari Amerika. Perbaikan jauh menyimpang dari modul CLM yang asli sehingga dapat di pertanyakan sejauh mana ini masih sebuah varian CLM. Scriven berpendapat tidak, karena pada pokok usulnya merupakan suatu perbaikan terhadap CLM dan ia sendiri tidak mengembangkan sebuah modul keterangan yang baru. Yang menjadi titik pangkalnya ialah usul yag menerangkan eksplanan menurut CLM di bagi menjadi dua. Bagian eksplanan yang menyebut sebab bagi suatu peristiwa atau keadaan yang harus diterangkan (yaitu premis kedua dalam keterangan CLM) menurut Scriven dan White merupakan keterangan pokok bagi eksplanadum. Sisa eksplanans pola hukum umum atau probabilistic yang disebut dalam premis pertama membenarkan atau mmberi legitimasi kepada keterangan yang di sajikan tanpa melupakan bagian keterangan tersebut.
Setelah CLM di perbaiki menurut usul Scriven dan White segala daya keterangan mereka pusatkan kepada peryataan yang menyebut sebab bagi suatuperistiwa dengan pola hukum dikurangi di jadikan semacam asuransi sesudahnya. Contoh dalam bukunya yang tersohor mengenai masyarakat feodal (la societe feodal). M. Bloch mengatakan bahwa sekitar 1000 bangsa Norman terhenti karena mereka pada waktu itu memeluk agama kristen. Secara formal kita tidak mempunyai keberatan terhadap keterangan tersebut , sekalipun kita tahu bahwa kasus yang berlawanan dengan pola hukumbahwa orang kristen tidak saling berperang. Yang pokok ialah suatu keterangan historis selalu menyebut sebab suatu kejadian sekalipun kita masih menyangsikan pola hukum yang menjamin bahwa keterangan historis itu dapat di percaya ini tidak meniadakan kenyataan bahwa telah disajikan keterangan historis. Dengan kata lain bahwa pola-pola hukum yang digunakan tidak seratus persen dapat diandalkan dan dalam pengkajian praktek sejarah ini selalu tejadi tidak menggugurkan ketepatan suatun keterangan historis. Scriven  lebih mencairkan CLM dari pada yang dilakukan oleh White. Pola-pola hukum ini atau Scriven di sebut Truismatau generalisasi normis. Kaidah=kaidah umum yang kita kenal dari hidup sehari-hari yang normal yang biasa. Pola-pola hukum itu samar-samar tidak terinci berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sepele dan kebal terhadap falsifikasi.
2.3.3  Kritik Terhadap CLM
Dibawah ini dilukiskan beberapa keberatan sementara yang di ajukan oleh seorang filsuf sejarah terhadap CLM.
a) Jarak antara eksplanans dan eksplanandum. Secara khusus seorang filsuf sejarah dari Kanada W. H. Dray mati-matian menyerang CLM. Dalam keterangan CLM sebuah peristiwa tidak pernah di terangkan dalam segala kompleksitasnya melainkan dalam sebuah deskripsi yang cocok. Pola-pola hukum yang terdapat di CLM selalu dapat di perhalus sehingga jarak antara eksplanans dan eksplanandum makin di perkecil. Terdapat sisi negatifnya yakni kesahihan pola hukum yang di pergunakan lalu berkurang makin hukum umum di dekatkan dalam peristiwa sejarah yang konkret.
(1)   Pola hukum itu makin menjadi terinci dan makin besar kemungkinan bahwa ia dapat di falsifikasi (hukum umum selalu aman);
(2)   Jumlah peristiwa sejarah yang dapat dijadikan batu ujian bagi kesahihan sebuah pola hukum semakin berkurang
Jadi enggan memperkecil jarak antara eksplanas dan eksplanandum kita memperbesar ketidak andalan pola hokum yang di pergunakan serta keterangan yang didasarkan atas pola hukum itu. Dengan demikian di tuturkan oleh Dray penganut CLM di hadapkan dengan dilema atau melakukan penelitan dengan mempergunakan pola-pola hukum yang samar-samar dan umum yang relatif dapat diandalkan tetapi tidak banyak menerangkan atau mempergunakan pola-pola terinci yang relatif lebih banyak yang menerangkan tetapi kurang dapat dipercaya. Contoh ketika louis XIV meninggal ia tidak dicintai rakyat karena tidak memperlihatkan kepentingan rakyat. Tokoh CLM menanggapi bahwa keterangan tersebut hanya dapat di terima berdasarkan pola hukum andalan yakni selalu bila serang raja tidak memperhatikan kepentingan rakyat maka ia tidak di cintai rakyat waktu ia meninggal. Sejarawan menyadari pola hukum yang samar itu tidak dapat di pertahankan. Richard Lionheart merugikan negaranya tetapi ia di cintai oleh rakyat Inggris. Ketika Louis XIV meninggal tidak di cintai rakyat karena kurang memperhatikan kepentingan rakyat dan karena dalam hal agama ia melakukan kebijakan yang kaku.
b) Keberatan terhadap pola hukum probabilistis. Dapat diajukan keberatan sebagai berikut. Dengan pola-pola huku probabilistis dapat di terangkan mengapa dalam sekian persen sejumlah kasus sebab tertentu disusul akibat tertentu tetapi tidak di terangkan apa yang terjadi dalam kasus-kasus individual. Bagi peneliti sejarah hukum-hukum probabilistis atau statistik kurang memadai.
c) Sifat formal dalam CLM. CLM merupakan kriterium yang semata-mata formal agar suatu keterangan historis dapat di terima.
d) Keberatan faucault. Keberatan terakhir dan paling dasyat terhadap CLM di lancarkan oleh seorang ahli filsafat dan sejarah berkebangsaan Perancis. Foucoult tidak secara eksplinsit melawan CLM. Dalam alam pikiran yang menghasilkan CLM terhadap keyakinan (yang sering tidak diungkapkan), bahwa hakikat suatu keterangan harus mengembalikan yang tak dikenal menjadi dikenal.
2.4 Hermeneutika
Istilah hermeunetika apabila diruntut secara etimologis, asal usul kata hermeunetika berrasal dari bahasa Yunani yaitu herminos yang mengacu pada seorang pendeta bijak Delpich. Kemudian diasosialisasikan pada Dewa Hermes, sebagai dewa penemu bahasa dan tulisan. Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno dikaitan dengan pembawa pesan takdir.
Hermeunetika sebagai suatu teori banyak menyangkut pada garapan atau bidang teoligi, filsafat bahkan sastra. Hermeunetika didefinisikan sebagai studi tentang prinsip – pronsip metologi, interpretasi, dan eksplanasi khususnya studi tentang prinsip – prinsip interpretasi bibel.
2.4.1 Dua Bentuk Hermeneutika
Sejarah hermeneutika kita awalkan dengan Frederich Scheleirmarcher (1768-1834), seorang ahli Theologia Jerman. Selaku seorang Teolog Scheleimarcher tertarik oleh persoalan, bagaimana teks-teks tertentu dari alkitab harus ditafsirkan. Maka dari itu, Scheleimarcher mempergunakan istilah “hermeneutika” (dalam bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah). Jalan hermeuneus itu hendaknya ditempuh bila ingin menjelaskan bagian-bagian alkitab yang sepintas kelihatan sukar dan bahkan mustahil untuk dimengerti.
Diterangkan disini perbedaan antara Hermeneutika dengan teori-teori modern (misalnya dari A. Naess, seorang filusuf Norwegia). Teori-teori argumentasi pun meneliti percakapan antar manusia, serta proses berjalannya percakapan itu. Namun, berlainan dengan hermeneutika, teori argumentasi mengandalkan bahwa kedua lawan bicara mempunyai titik pangkal atau dasar bersama. Bila lawan bicara tidak dapat lagi saling mengerti, atau komunikasi mulai terganggu, maka lacak dimana itu mulai terjadi, sambil bertitik tolak dari dasar yang sama. Masalah yang dihadapi hermeneutika lebih mendalam, tujuannya ialah menjembatani jurang antara dua titik pangkal yang berbeda-beda.
Maka dari itu, istilah hermeneutika dapat dipergunakn dalam dua arti :
a)  Menafsirkan teks-teks dimasa silam.
b)  Menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah.
Menurut arti pertama, kita melihat suatu kesatuan atau suatu koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut arti yang kedua kita memberi jawaban terhadap pertanyaan, mengapa seorang pelaku historis berbuat demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita seolah-olah mengatasi masa silam serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian dari mana kita dapat melihat kesatuan dan kebertautan. Dalam kasus kedua, kita menggunakan bahan sejarah agar lebih dalam menyelami masa silam.
Menurut hermeneutika, terdapat satu bidang penelitian ilmiah yang menuntut diterapkannya metode ilmiah-eksak dari CLM di satu pihak dan bidang penelitian yang menuntut pendekatan hermeutis, di lain pihak, yaitu perbuatan manusia seperti diteliti seorang ahli sejarah. Padahal, menurut para penganut CLM, modul penelitian yang satu dan sama, yaitu CLM, berlaku dan berguna pada semua bidang penelitian. Perbedaan kedua antara hermeneutika dengan CLM, ialah kedudukan si ahli sejarah, selaku subjek yang mengetahui dalam hermeneutika. Dalam CLM, subjek hampir tidak memainkan peranan.
2.4.2  Hermeneutika di Jerman (Dilthey dan Gadamer)
Tokoh terpenting dalam sejarah hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey ingin berbuat bagi “ilmu-ilmu rohani” (ilmu budaya manusia), khusus bagi sejarah, apa yang dibuat Kant bagi ilmu-ilmu eksakta. Dilthey memusatkan perhatiannya pada pengalaman kita tentang dunia historis. Karya Dilthey yang bagi kita penting ialah buku karyanya pada pada tahun 1911, Der Audbau der geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften (susunan dunia sejarah menurut ilmu-ilmu budaya). Ide-ide Dilthey berkisar pada tiga konsep inti, ialah “Erlebnis”, “Ausdruck”, dan “Verstehen”. Pengalaman mengenai dunia hidup yang ditentukan oleh proses timbal balik itu, pengalaman dalam arti sejati Dilthey, disebut “Erlebnis”. Dalam analisis Dilthey mengenai “Erlebnis” itu , kita melihat pengaruh interpretasi teks yang merupakan awal hermeneutika (Schleiermacher). “Ausdruck” (ungkapan), selalu merupakan objektivasi mengenai kebertautan atau koherensi dalam erlebnis. Seorang peneliti sejarah dapat merekonstruksi (Nachbildung) erlebnis-erlebnis seorang pelaku sejarah, bila ia sambil menggunakan pengalaman hidup sendiri. Mengaktualkan kembali keadaan-keadaan yang dahuu meliputi si pelaku sejarah ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi dan sebagainya. Seorang ahli sejarah seolah-olah harus mementaskan kembali, di atas panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologis dan intelektual yang dahulu dirasakan seorang pelaku sejarah.
Bila seorang peneliti sejarah telah merekonstruksi kembali, dalam batinnya sendiri pengalaman-pengalaman seorang pelaku sejarah sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, maka ia mampu memahami (verstehen) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu. Untuk sebagian, seorang peneliti sejarah telah membuat copy atau rekaman mengenai kesatuan dan kebertautan dalam pengalaman yang demikian khas bagi seorang pelaku sejarah. Tidak perlu dijelaskan bahwa proses verstehen itu tidak dapat diterapkan pada bidang ilmu eksakta. Maka dari itu, Dilthey melawankan “verstehen” yang berlaku dalam ilmu-ilmu budaya dengan “erklaren” (menerangkan) yang berlaku dalam ilmu-ilmu alam, yang berdasarkan pola-pola hukum umum. “Erklaren” selalu terbatas pada gejala-gejala yang bersifat lahiriah, dapat diamati. Sedangkan seorang peneliti sejarah, mampu menyelami batin kenyataan historis. Bentuk pengetahuan yang diperoleh dari Verstehen lebih lengkap dari pada Erklaren. Verstehen itu baru mungkin, bila bila sebelumnya kita sudah tahu sedikit mengenai dunia pengalaman seorang pelaku sejarah.
Secara singkat, pandangan Dilthey dapat diringkas sebagai berikut: Manusia yang hidup dalam arus sejarah, terbenam dalam dunia penuh arti. Setiap bagian dari dunia sejarah itu, merupakan ungkapan (ausdruck) mengenai pikiran dan perbuatan manusia dan oleh karena itu, menjadi pengemban arti. Hermeneutika Dilthey selalu bergerak antara tiga patokan yaitu: Erlebis, Ausdruck, dan Verstehen.
Hans Georg Gadamer lahir pada tahun 1900 di Heidelberg. Tahun 1960 Gadamer menerbitkan buku Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode). Salah satu karya filsafat yang paling monumental abad ini. Gadamer secara tegas menolak pendekatan teori pengetahuan atau pendekatan modis. Selaras dengan pandangan Heidegger, Gadamer tidak memandang hermeneutika sebagai salah satu untuk memperoleh sebuah pengetahuan. Melainkan sebagai ciri khas dalam kehidupan manusia dan ekosistemnya. Gadamer memindahkan bidang penelitian hermeneutika dari kawasan teori pengetahuan ke kawasan ontologi. Maka dari itu, konsep pengalaman harus ditinjau kembali. Dalam bidang sains pengalaman atau empiri dapat didefinisikan sebagai pengalaman mengenai data-data yang ada dalam kenyataan, lalu diungkapkan dalam bahasa.
Gadamer menolak untuk memisahkan dunia dan bahasa. Maka dari itu, bahasa, kenyatan, dan pengalaman menyatu. Pengalaman tidak mencerminkan dunia dalam bidang parallel yang disebut bahasa, melainkan terus-menerus terarah dan terserap oleh terpintalnya dunia dan bahasa. Dalam pengalaman kita mengenai kenyataan sosial historis, pengalaman tak pernah merupakan suatu jepretan seperti dalam ilmu eksakta, melainkan suatu proses yang meliputi waktu tertentu, akibat penyatuan bahasa, kenyataan dan pengalaman. Selama proses itu, bagian-bagian yang relevan dalam pengetahuan, ingatan, harapan, dan emosi kita, diaktifkan menjadi pengalaman. Ontologi hermeneutis, hendaknya menggantikan teori pengetahuan hermeneutis.
Penolakan Gadamer, terhadap teori pengetahuan dan metode agar memberi tempat kepada kepada ontologi, mempunyai konsekuensi penting yang sebetulnya merupakan konsep pokok yang mendasari hermeneutiknya. Setiap analisis yang didukung oleh suatu teori pengetahuan dan/atau suatu metode tertentu yang meneliti bagaimana pengetahuan pada umumnya diperoleh dan pengetahuan sejarah pada khususnya, berdasarkan gagasan, bahwa pengetahuan dapat deperoleh oleh seorang subjek yang tahu, subjek ini pada prinsipnya dapat diganti oleh subjek lain, asal ada suatu metode tertentu untuk meraih suatu pengetahuan yang dapat diterima siapa saja.
Dengan mendasarkan pengalaman hermeneutika tidak pada teori pengetahuan, melainkan pada ontologi, maka gardener sampai pada pendirian, bahwa setiap pemahaman hermeneutis mengenai masa silam, terkait akan dan bertaut dengan individualitas si peneliti.
2.4.3  Hermeneutika di Inggris dan Amerika
R.G Collingwood (1889-1943), seorang ahli arkeologi dan filsuf sejarah berkebangsaan Inggris, sebetulnya ironis bahwa Collingwood umum dipandang sebagai juru bicara pendirian hermeneutis yang klasik, karena titik pangkalnya berada dilain tempat.
Hermeneutika yang dikembangkan Collingwood, jelas dan sederhana. Ia mulai menetapkan bahwa perbedaan pokok antara pengkajian sejarah dan ilmu-ilmu eksakta, terletak dalam kenyataan, bahwa seorang peneliti sejarah tidak hanya berurusan dengan kelakuan lahiriah objek penelitiannya, melainkan juga dengan batin kelakuan mereka. Oleh karena itu, Collingwood berpendapat bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam pikiran. Collingwood menggarisbawahi bahwa “re-enactement” itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang tak dapat dikontrol. Peneliti sejarah hendaknya selalu penuh imajinasi, ia harus pandai mengadakan ekstraplorasi dan intraplorasi, menurut pandangannya sendiri, tetapi “re-enactment” itu merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak demi setapak oleh kritik sejarah dan juga dapat dinilainya.
W.H. Dray, seorang filusuf Kanada yang terpengaruh Collingwood. Ini antara lain Nampak dari contoh berikut, bagaimana Dray menerangkan suatu kejadian dalam sejarah. Namun, ada suatu perbedaan pokok antara Collingwood dengan Dray. Yang mutlak perlu bagi Collingwood, ialah pikiran tokoh sejarah dan duplikatnya dalam pikiran peneliti sejarah sama. Tuntutan itu dilepaskan Dray, ia hanya minta suatu rekonstruksi yang didukung alasan kuat dan bahan bukti mengenai apa yang dapat dipikirkan seorang tokoh sejarah. Dray hanya meminta supaya disebut, apa yang dapat dipandang sebagai alasan bagi seorang tokoh sejarah, supaya ia berbuat begini atau begitu.
2.4.4  Kritik Terhadap Hermeneutika
Kita harus membedakan hermeneutika sebagai penafsiran teks-teks dan hermeneutika sebagai suatu teori guna menerangkan, secara historis, perbuatan seorang pelaku sejarah. Maka dari itu, keberatan-keberatan terhadap hermeneutika, dapat dijadikan dua kategori.
a) Hermeneutika berawal dari Rene Descartes (1596-1650) seorang filusuf Prancis, berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda-beda, yaitu jiwa dan tubuh, atau seperti yang diungkapkannya sendiri yaitu roh dan keterbentangan.
Nilai hemeneutika terbatas pada heuristik, artinya hanya merupakan sarana agar kita dpat sampai pada suatu dugaan mengenai kenyataan. Jelaslah, bahwa keberatan yang diajukan terhadap hermeneutika dari sudut CLM, juga dapat diajukan terhadap action rationale explanation ala Dray. Ia mengusulkan agar membedakan:
(1) Usaha membenarkan perbuatan-perbuatan kita (dengan menyebut  alas an-alasan kita);
(2)  Melacak alasan sebenarnya yang melatarbelakangi perbuatan kita.
Pembelaan Dray tidak meyakinkan penganut CLM. Mereka setuju, bahwa kita ingat akan alasan bagi suatu perbuatan, maka pada dasarnya kita hanya menentukan suatu peristiwa dari masa silam dan tidak menerapkan pola-pola hukum umum. Dalam model penjelasan teologis yang pertama-tama diusahakan ialah memberi bentuk yang terinci kepada proses penghayatan hermeneutis.
b)  Jangkauan hermeneutika yang terbatas. Keberatan utama yang dapat diajukan terhadap penjelasan hermeneutis ialah jangkauannya yang terbatas. Baik penjelasan hermeneutis maupun penjelasan teologis, memperlihatkan dua kekurangan.
c)  Hermeneutika kurang memiliki kesadaran historis. Akhirnya hermeneutika, sama dengan CLM, dapat dipersalahkan karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan mengandaikan, bahwa cara seorang peneliti sejarah menanggapi keadaan dalam lingkungannya, pada pokoknya sama dengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi terhadap lingkungannya. Baru, bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan, pikiran dan perbuatan sama dengan seorang peneliti sejarah maka pendekatn hermeneutis membuka jalan untuk menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi hendaknya kita ingat, bahwa seorang peneliti sejarah justru meneliti masa silam, karena adanya perbedaan antara masa kini dan masa silam. Ini berarti bahwa seoran gpeneliti sejarah, pada prinsipnya, tidak menaruh minat terhadap pikiran dan perbuatan seorang pelaku sejarah.
2.4.5  Masa Silam Sebagai Teks
Yang merupakan ciri khas dari bentuk hermeneutika ialah aksioma, bahwa dunia sosio-historis merupakan sesuatu dunia yang penuh arti.  Oleh karena itu, para filusuf sejarah dari tradisi strukturalis, sering menyarankan untuk mempelajari masa silam, seolah-olah itu merupakan suatu teks. Pendekatan ini merupakan suatu bentuk hermeneutika yang serba baru, yang tidak lagi dapat di kritik dengan alasan-alasan yang diajukan dalam pasal diatas tadi.
Karangan H. white Metahistory (1973), mrupakan suatu usaha yang paling menonjol dalam mengembangkan suatu filsafat sejarah seperti dilukiskan diatas tadi. Bagi White, masa silam merupakan sebuah teks prosa, lagipula sebuah teks yang belum kita mengerti atau mudah sekali keliru mengerti. Adapun tugas seorang ahli sejarah adalah menafsirkan teks (historis), atau menjadi “puisi” penulisan sejarah. Seorang ahli sejarah harus belajar mengidentifikasikan unsur-unsur masa silam yang berdiri sendiri (leksion) kemudian membuat daftar (gramatika) bagaimana unsur-unsur itu terkait dalam keseluruhan yang lebih luas (sintaksis), sehingga akhirnya dapat mengatakan yang sebenarnya (semantik) dari suatu segi (bagian) dalam masa silam. Adapun menurut White, empat bentuk gaya bahasa yang membuka jalan untuk menerjemahkan prosa menjadi puisi penulisan sejarah, yaitu metafora, sinekdoke, metomini, dan ironi.
Adapun sinekdoke adalah suatu gaya bahasa yang juga ingin mengungkapkan hakikat sesuatu, tapi berbeda dengan metafora, karena tidak menssejajarkan dua hal yang berbeda-beda. Adapun metomini mirip dengan sinekdoke, namun tidak terpusat pada hakikat gajala historis, melainkan pada aspek-aspek kejadian masa silam yang memperlihatkan kebertautan di dalam sebuah struktur yang sekarang kita terapkan pada masa silam.
2.5  Kausalitas
2.5.1 Sebab-sebab dan keterangan-keterangan
Para peneliti sejarah bertanya mengenai sebab-sebab dan keterangan-keterangan, bila berhadapan dengan proses-proses perubahan. Bahkan juga mereka bertanya, mengaa sebuah proses perubahan bertentangan dengan dugaan umum, maka yang menjadi pokok permasalahan ialah perubahan-perubahan. Maka dari itu, dalam pengkajian sejarah pengertian-pengertian seperti perubahan, sebab, dan keterangan berkaitan erat dengan yang lain.  Maka dari itu, dapat diduga juga, bahwa pengertian sebab dapat dipahami menurut dua macam arti. Pertama, sebab sebuah peristiwa P ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini demikian rupa, sehingga deskripsi mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan pada pola hukum umum pila. Kedua yang menyebabkan suatu peristiwa yaitu intensi atau motif seorang pelaku historis untuk mengakibatkan peristiwa itu.
2.5.2 Berbagai Jenis Sebab
Pendirian John Stuart Mill (1806-1873), mengenai kausalitas. Bagi dia, penyebab P ialah keseluruhan peristiwa, keadaan, dan perkembangan dan sebagainya yang mendahului P. ini dapat disebut sebab total bagi P. konsep sebab total ini dari sudut filsafat, mungkin memuaskan, akan tetapi dalam praktek, kita harus melacak sebab-sebab sebuah peristiwa, kita akan dihadapkan pada kesukaran-kesukaran yang tak teratasi. Perbedaan antara syarat yang cukup dan syarat yang mutlak perlu (istilah syarat, kondisi, atau kondisi awal selalu sinonim dengan sebab).
2.5.3 Abnormalisme
Teori abnormalisme didukung oleh pengalaman kita bersama. Kita baru menanyakan mengenai sebab sesuatu, bila terjadi sesuatu yang mencolok, yang mengherankan, yang “”tidak normal”. Demikian juga yang terjadi dalam pengkajian sejarah. Para sejarawan tidak menanyakan mengenai sebab-sebab, selama hegemoni Eropa tidak diganggu gugat. Baru bila Eropa kehilangan hegemoninya mereka baru bertanya apa sebabnya.
Tidak perlu diterangkan bahwa keterangan-keterangan abnormalis selalu bersifat nisbi. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk sebagai syarat mutlak bagi suatu peristiwa yang harus dijelaskan, selalu dapat dikaitkan dengan pendirian seseorang yang ingin menerangkan peristiwa itu. Dan pendirian-pendirian itu dapat berbeda-beda. Seorang sejarawan terikat akan nilai-nilai yang dianutnya dan menyeleksi syarat-syarat mutlak, hendaknya jangan ditafsirkan, bahwa dengan demikian pernyataan-pernyataan kausal lalu juga digoncangkan dalam objektivitasnya.
2.5.4  Keberatan - Keberatan Terhadap Prinsip Kausalitas
a) Jangkauannya
Jangkauan keterangna kausal terbatas. Sebetulnya ini tidak langsung menyerang prinsip kausalitas, hanya menisibkan nilai keterangan kausal bagi pengkajian sejarah.
Dray mengatakan bahwa keterangan-keterangan historis tidak selalu menjawab pertanyaan “mengapa” (apa sebabnya), tetapi sering juga pertanyaan “bagaimana”. Lebih radikal dari pada Dray adalah Oakeshott. Bagi Oakeshott, semua pertanyaan mengenai sebab sebetulnya mengenai pertanyaan “bagaimana”. Pertanyaan itu harus dijawab dengan menyebut beberapa fakta yang melenyapkan rasa heran kita, jadi tidak dengan menyebut beberapa pola dan sebab hukum umum. Menurut Porter, proses-proses perubahan yang dipelajari seorang sejarawan dan yang ingin diterangkannya, hendaknya kita lihat sebagai perubahan-perubahan dalam bentuk. Masa silam terus menerus mengalami metamorfosa, sama seperti dalam proses evolusi tumbuhan dan hewan yang menampilkan bentuk-bentuk baru.

b) Memisahkan sebab dan akibat
Sebab dan akibat merupakan peristiwa-peristiwa, perkembangan-perkembangan dan sebagainya, di dalam kenyataan historis sendiri dengan mempergunakan logat kausal, seolah-olah masa silam tersusun dari sejumlah atom peristiwa. Atom-atom peristiwa itu dipelajari dan diidentifikasikan oleh seorang peneliti sejarah dan akhirnya dia dapat menunjukan suatu hubungan antar atom-atom tersebut. Akan tetapi demikian Mandelbaum, kita membeda-bedakan dalam dan dengan bantuan bahasa. Baru setelah kita memahirkan bahasa (sebab akibat), kita membedakan antara sebab dan akibat. Tetapi bahasa dan kenyataan historis merupakan dua hal yang berlainan, oleh sebab itu,  pengalihan itu tidak dihalalkan. Oleh karana itu tidak ada sebab untuk mengandaikan, bahwa peristiwa masa silam dapat dipisahkan seperti konsep sebab akibat di dalam bahasa.
c) Sebab dan CLM
Kita telah lihat bahwa dipergunakannya logat kausalitas mengandaikan penerimaan CLM. Keeratan-keberatan yang diajukan terhadap CLM sekaligus dapat dipandang juga sebagai keberatan terhadap keterangan kausal.




BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ekspalansi sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodolgi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada.
Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan secara tepat, pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Model-model Eksplanasi
·                   Covering Law Model (CLM)
CLM adalah model yang dikembangkan oleh Hempel (1959: 344-356) untuk memberikan penjelasan sejarah. Model ini berawal dari pikiran Hume (1712-1776) seorang filosuf berasal dari Skotlandia. Hematnya, alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian pula perbuatan manusia harus tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu yang konstan dan universal.
·                   Hermeneutika
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM. Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan, partikularistik) daripada nomotetik (keumuman, generalistik).
·                     Kausalitas
Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum sebab akibat (law of causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R. 1987. Denken Over Geschiedenis. Di Indonesiakan oleh Dick Hartoko, Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Gottschalk, Louis. 1969. Understanding History. Di Indonesiakan oleh Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Richard, E. 2005. Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
http://wolf88.blogspot.com/2014/05/eksplanasi-sejarah_3025.html