Jumat, 12 Desember 2014

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PERTUMBUHAN ORGANISASI POLITIK 1908-1926



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Dasawarsa pertama abad ke-20 ini dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai periode kebangkitan nasional, maka pertumbuhan kesadaran yang menjiwai proses itu menurut bentuk manifestasinya telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu mulai dengan lahirnya ide emansipasi dan liberal dari serba terbelakang, baik yang berakar pada tradisi maupun yang tercipta oleh situasi kolonial. Kemudian menyusul segera ide kemajuan beserta cita-cita untuk meningkatkan taraf kehidupan bangsa. Pada tahap berikutnya gerakan telah meluas menjadi gerakan total mencakup segala aspek kehidupan manusia. Yang mencolok sekali adalah secara eksplisit tidak pernah diutarakan suatu orientasi tujuan politik. Tampaknya situasi kolonial sebagai akar dari segala keterbelakangan diterima dan tidak dipersoalkan, meskipun ketimpangan sosial sering mengundang kecaman umum yang keras, aksi, ataupun protes.
Dalam menentukan orientasi tujuannya, organisasi-organisasi belum sampai pada fase penegasan identitas politiknya, antara lain karena masih sibuk dengan konsolidasi ke dalam. Proses ini berkaitan dengan penentuan identitas umum dari organisasi yang sangat dipengaruhi oleh lokasi sosial-kultural para anggotanya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai perkembangan politik dan pertumbuhan organisasi politik pada awal abad ke-20 tepatnya tahun 1908-1922.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas dapat ditentukan beberapa rumusan masalah antara lain:
1.      Bagaimana proses radikalisasi terjadi?
2.      Bagaimana institusionalisasi politik dan integrasi kaum elite?
3.      Bagaimana kristalisasi prinsip dan benih – benih pilarisasi?
4.      Bagaimana polarisasi dan radikalisasi 1918 – 1926?
5.      Seperti apa tindakan Gubernemen Hindia Belanda yang penuh kekerasan?
6.      Bagaimana pengaruh dan peranan perhimpunan Indonesia dalam pergerakan nasional?

1.3  Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan penulisan makalah berdasarkan rumusan masalah diatas adalah:
1.      Memahami bagaimana proses radikalisasi;
2.      Memahami bagaimana institusionalisasi politik dan integrasi kaum elite;
3.      Mampu menjelaskan bagaimana kristalisasi prinsip dan benih – benih pilarisasi;
4.      Memahami bagaimana polarisasi dan radikalisasi 1918 – 1926;
5.      Mampu mendeskripsikan seperti apa tindakan Gubernemen Hindia Belanda yang penuh kekerasan;
6.      Memahami bagaimana pengaruh dan peranan perhimpunan Indonesia dalam pergerakan nasional.
1.4  Manfaat Penulisan makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik berupa tambahan pengetahuan serta wawasan kepada pembaca tentang perkembangan politik dan pertumbuhan organisasi politik 1908-1926, dan juga semoga memberikan manfaat bagi penulis sendiri.









BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Proses Radikalisasi
Apabila sekitar tahun 1915 dan 1916 organisasi utama seperti SI dan BO pada umumnya bersikap lunak dan loyal terhadap gubernemen Hindia Belanda maka dalam tahun-tahun berikutnya tumbuhlah sikap politik yang semakin radikal, semata-mata sebagai kelakuan reaktif terhadap politik kolonial yang semakin bertentangan dengan politik etis. Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum yang terkenal dengan politiknya yang liberal-progresif serta toleran ternyata pada hakikatnya bersikap paternalistik. Peranan pemimpin Belanda masih merupakan unsur pokok bagi perkembangan HB. Toleransi itu tidak dapat dijabarkan sebagai tindakan politik yang realistik dan tegas untuk menghadapi kekuasaan pengusaha perkebunan dan kaum modal. 
Karena pengaruh pemimpin sosialis dan komunis serta bahasa politiknya yang penuh peristilahan marxistis-revolusioner maka perjuangan nasional menggeser kearah anti kolonialisme dan anti kapitalisme yang ekstrem-evolusioner. Dalam konfrontasi dengan penguasa kolonial yang reaksioner dan konservatif, perkembangan politik mengarah ke akselerasi konflik. Proses ini agak terhambat dengan adanya tindakan-tindakan keras gubernur HB terhadap para pemimpin, antara lain Sneevliet, Bergsma, Semaoen, Darsono.
Baik SI dan BO tidak dapat terhindar dari proses radikalisasi, setengahnya karena politik kolonial yang reaksioner, setengahnya karena pengaruh oleh agitasi pemimpin-pemimpin sosialis-komunis tersebut diatas. Ada faktor penghambat besar yang menghalang-halangi pendekatan atas solidaritas antara kedua organisasi itu dengan golongan sosialis-komunis, yaitu perlawanan menentang kapitalisme bagi SI tidak mungkin mencangkup kapitalisme dalam negeri.
Waktu pada awal tahun dua puluhan dunia perburuhan dilanda pergolakan dan pemogokan, BO menyatakan solidaritasnya sehingga mulai dicap revolusioner oleh gubernemen. Orientasi BO kepada massa dan rakyat telah bangkit sejak kongresnya di Semarang pada 26-28 September 1919, dimana fraksi kaum muda mendesak agar BO menempuh politik kerakyatan.
Dengan ketrampilan politik, pemimpin-pemimpin antara lain Semaoen, berhasil mempengaruhi organisasi seperti CSI. Dalam salah satu kongres nasionalnya, karena pengaruh mereka, CSI menggertak pemerintah kolonial dengan kapitalismenya yang berdosa.
Dengan dipelopori oleh VSTP ( Veereninging Van Spoor-en Tramwegpersoneel = perserikatan Buruh Kereta Api), maka serikat pekerja lain mulai muncul, antara lain PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda), PPPB ( Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra), PFB ( Personeel Fabriek Bond ).
Perkembangan ekonomi di Indonesia mengalami kemajuan pesat antara lain dalam perkebunan, pendidikan, pelbagai kedinasan dan pelayanan, yang menimbulkan golongan pekerja, buruh, dan pegawai, yang mengelompok menurut lapangan kerja masing-masing. meskipun termasuk golongan rendah atau golongan menengah-rendah , fungsi mereka dalam pelbagai cabang produksi industrial sangat penting dan strategis sekali. Sebagai kekuatan social ada senjata padanya untuk menggangu proses produksi serta pelayanan, antara lain dengan aksi pemogokan.
Dalam menghadapi propaganda politik yang sangat agresif itu ternyata di kalangan organisasi-organisasi pergerakan ada suasana kebudayaan politik yang merupakan faktor tandingan. Dalam SI Semanagat religius mulai bergolak menentang bahaya komunisme, sedang bagi golongan BO yang terkenal sangat moderat itu, jelaslah bahwa kepentingan anggotanya menolak segala kecenderungan ke arah radikalisme dan terang-teranagn melawan penguasa kolonial. Maka dari itu yang menjadi perebutan ialah massa rakyat kecil yang menderita sebagai akibat eksploitasi kolonial dengan kapitalismenya. Situasi yang semakin memperburuk bagi kaum buruh dan pegawai rendah sehabis perang dunia I pada satu pihak, ekonomi serta pertanian yang mengalami masa gemilang pada pihak lain, memberi angin kepada gerakan buruh. Kepemimpinannya jatuh ke tangan kaum komunis yang terampil sekali mendalangi aksi-aksi kaum buruh, antara lain pemogokan-pemogokan. Aksi-aksi semakain digalakkan, antara lain karena politik kolonial dibawah GJ Fock semakin reaksioner dan konservatif. Dalam konfrontasi ini golongan moderat semakin terjepit sehingga kehilangan kesempatan untuk berinisiatif.

2.2 Institusionalisasi Politik dan Integrasi Kaum Elite
Seperti telah diuraikan di atas pembentukan organisasi-organisasi betapapun terbatas jangkauannya, menciptakan kesempatan bagi kaum terpelajar tidak hanya mengadakan interaksi, tetapi juga menimbulkan rasa solidaritas, sehingga organisasi itu sekaligus menjadi wadah hubungan sosial baru serta berfungsi sebagai tumpuan identitas, sosial, kultural, dan akhirnya juga politik.
Bertolak dari kesadaran kolekif suatu kelompok dalam kerangka organisatoris menjalani politisasi, dengan perkataan lain pola kelakuannya terarah dan ditentukan oleh suatu orientasi tujuan, maka dengan demikian ada potensi untuk menyatakan kemauan politik kolektif. Kelakuan kolektif yang dipolakan menurut struktur organisasi pergerakan nasional mau tak mau mempunyai dampak proses politisasi atau dengan perkataan lain organisasi pergerakan menjadi wahana institusionalisasi politik.
Apabila pada awalnya BO didirikan sebagai wadah untuk menampung segala aktivitas dalam pergerakan memajukan bangsa Indonesia angkatan muda di kalangan siswa STOVIA yang menjadi penggerak utamanya, maka sejak Kongres Jong Java, 5 Oktober 1908 di Yogyakarta, pimpinan ada di tangan angkatan yang lebih tua terutama dari golongan aristokrasinya. Pergeseran pimpinan itu dengan sendirinya berpengaruh sekali pada orientasi politik BO, lebih-lebih setelah Tjipto Mangoenkusumo dan Soerjodipoetro keluar dari Dewan Pimpinan. Arah tujuan menjadi semakin konservatif dan moderat.
Meskipun terbatas suasana pengaruhnya, elite baru mempunyai keterampilan politik tanpa memakai paksaan atau perintah. Para pemimpin BO telah mendapat kesempatan memperoleh keterampilan berorganisasi dan perluasannya, ialah keterampilan politik. Merekalah yang paling terlatih dan berpengalaman pada masa perkembangan politik yang mulai memerlukan kepemimpinan jenis baru.  Maka dari itu BO lah yang dipandang oleh gubernemen HB yang paling berpotensi untuk mewujudkan modernisasi politik.
Dalam perkembangan Indische Partij lebih lanjut ternyata golongan mayoritas pribumi lebih banyak tertarik ataupun terserap ke organisasi-organisasi lain, sedang unsur Indo-Eropa yang konservatif lebih cenderung bergabung dengan Indische Bond. Dengan demikian Indische Partij kehilangan basis massanya dan akhirnya bubar. Ketiga pemimpinnya, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesumo, dan Soewardi Soerjaningrat menjalani suatu pengucilan di Negeri Belanada pada tahun 1913.
Van Limburg Stirum yang sangat idealistis itu tidak ragu-ragu untuk mengangkat beberapa tokoh radikal sebagai angotanya Dewan Rakyat, antara lain dengan maksud agar tertampung didalamnya pelbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Diantara kaum radikal yang diangkat ialah Tjipto Mangoenkoesumo, Tjokroaminoto, Stokvis, dan Sneevlit. Pada umumnya kaum moderatlah yang memenuhi kualifikasi untuk dipilih sebagai anggota Dewan Rakyat, sehingga tidak mengherankan apabila Dewan Rakyat mempunyai mayoritas anggota yang terdiri atas kaum moderat.
Dalam hubungan itu perlu diingat kenyataan bahwa elite politik terutama ada di kota. Diantaranya golongan priyayi terpelajarlah yang memegang peranan utama. Lokasi sosial kulturalnya ternyata menempatkan golongan itu dalam jaringan komunikasi secara sentral dan strategis sehingga dapat memainkan peranaan utama dalam proses pembentukan Dewan Rakyat. Pimpinan BO dipegang oleh golongan tersebut, sehingga menonjollah peranannya dalam proses formasi Dewan Rakyat itu.
Kalau pada Juni 1917 Komite Nasional yang didirikan oleh BO memperjuangkan suatu pemerintahan parlementer, maka melalui konsentrasi Radikal yang terbentuk pada 16 November 1918, diajukan tuntutan agar direalisasikan pembentukan dewan perwakilan yang dipilih oleh rakyat serta berkuasa penuh sebagai badan legislatif. selanjutnya perlu dibentuk suatu pemerintahan yang bertanggung jawab penuh kepada perwakilan itu.
Tuntutan itu kemudian secara lebih terinci diajukan sebagai nota yang pada hakikatya mengarah pada sistem dan struktur pemerintahan berdasarkan parlementer sepenuhnya. Gerakan ini dilancarkan dengan maksud agar pusat kekuasaan beralih ke HB, suatu proses demokratisasi yang pada hakikatnya memuat prinsip otonomi atau kemerdekaan.
Reaksi gubernemen HB menunjukkan kecenderungan untuk menahan kecepatan perkembangan politik dengan menyatakan bahwa sebagian rakyat belum siap untuk melakukan hak politiknya. Sebagai langkah konkret dibentuklah Panitia Perubahan Pemerintahan.
Ditegaskan bahwa yang berwenang untuk mengadakan perubahan hanyalah badan legislatif Belanda. Nama Van Limburg Stirum didiskreditkan dan akhirnya dia tidak mempunyai dukungan baik di Belanda maupun di HB. Sewaktu hasil Panitia Perubahan Sistem Pemerintahan diumumkan, ternyata perubahan struktur tidak membawa fungsi kekuasaan baru yang mengarah pada pemerintahan sendiri.
Untuk menyambut peristiwa itu maka Douwes Dekker dan kawan-kawan mengambil inisiatif untuk mendirikan Panitia “Otonomi bagi Hindia”. Usulnya ialah agar Belanda, Indonsia dan Suriname, menjadi suatu federasi dengan memberi kedudukan yang sama kepada unit masing-masing. Dalam kongres “Seluruh Hindia” di Bandung pada tanggal 3,4, dan 5 Juni 1922 tegas-tegas dinyatakan bahwa “Hindia” berhak menentukan nasib sendiri meskipun masih dalam hubungannya dengan belanda. Pernyataan itu sebenarnya mempunyai implikasi bahwa status yang dimaksud itu hanya merupakan tahap ke arah perkembangan berikutnya yaitu kemerdekaan. Dalam kongres itu juga Douwes Dekker mengaskan adanya eksploatasi yang terus-menerus, sedang Soewardi Soerjaningrat mengecam soal penahanan preventif serta hak eksorbitan.
Mulai disadari oleh umum bahwa perjuangan politik secara moderat tidak akan memberi hasil dalam suatu struktur kekuasaan kolonial yang dihadapi pada waktu itu. Semakin jelaslah bahwa penguasa kolonial pada hakikatnya bersikap konservatif dan hendak mempertahankan status quo, sehingga tidak dapat diharapkan akan membuat perubahan-perubahan yang berarti. Sebagai reaksi yang wajar terhadap politik kolonial itu, muncullah ide nonkoperasi yang dapat dipandang sebagai prinsip politik yang tegas dalam pergerakan nasional.
Dari titik perkembangan politik ini tampaklah tiga jalur proses akselerasi konflik, yaitu :
1)      Gerakan pemogokan kaum buruh dan pegawai yang dipelopori oleh partai kiri;
2)      Tindakan-tindakan represif oleh peguasa kolonial
3)      Semakin kuatnya kesadaran nasional yang mendorong solidaritas kea rah persatuan gerakan-gerakan nasional.
Meskipun BO secara konvensional dipandang sebagai organisasi perintis dalam pergerakan nasional, sesungguhnya dipandang dari segi ideasional Indische Partij-lah yang pertama secara terbuka dan eksplisit menyatakan tuntutan akan kemerdekaan itu.
Dalam majalah Het Tijdschrift Douwes Dekker menyatakan bahwa dalam masyarakat kolonial gerakan politik yang sehat secara wajar mengarah ke pelaksanaan kemerdekaan. Sudah barang tentu dalam konteks sosial-politik waktu itu pernyataan tersebut dianggap sangat radikal.
Suatu puncak perkembangan ideologi kesatuan dan persatuan adalah semacam manifesto politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922, di mana tercantum prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)      Di masa depan perlu dibentuk suatu sistem pemerintahan seperti yang dikehendaki oleh rakyat sendiri serta bertanggung jawab kepadanya;
2)      Sistem itu perlu diusahakan oleh bangsa Indonesia sendiri menurut kemampuan serta tenaga sendiri tanpa mengharapkan bantuan pihak lain;
3)      Setiap perpecahan antara bangsa sendiri harus dicela sekeras-kerasnya dan sebaliknya perlu diusahakan persatuan untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Dari perumusan di atas nyata sekali ideologi nasionalisme telah diwujudkan secara semurni-murninya dengan mencakup didalamnya: (1) ide kesatuan, (2) paham demokrasi, (3) paham swadaya, (4) persatuan antara segala unsur. Sesungguhnya dapat ditambahkan prinsip nonkooperasi yang secara implisit ada di dalam konsep swadaya itu. Manifestasi itu dapat dipandang sebagai titik puncak dari perkembangan ide-ide sebelumnya pada satu pihak, dan di pihak lain sebagai pangkal tolak perjuangan seterusnya.
Gerakan SI dapat dipandang juga sebagai gerakan total oleh karena kegiatannya mencakup segala macam bidang, ialah bidang ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam tahap-tahap pertumbuhannya SI senantiasa ada di garis depan perjuangan politik, terutama sejak 1916. Antara 1912-1916 Tjokroaminoto dan para pemimpin SI lainnnya cukup moderat sikapnya terhadap gubernemen HB. Pada tahun 1912 Tjokroaminoto sangat kooperatif terhadap gubernemen dan dikatakannnya bahwa tidak bertentangan dengan ajaran agama islam untuk menaati peraturannya. Yang diperjuangkan ialah menegakkan hak-hak manusia serta meningkatkan taraf hidup rakyat.
Sejak 1916, pada waktu suasana menjadi hangat sekitar persiapan pembentukan Dewan Rakyat, dalam kongres-kongres SI, Tjokroaminoto mulai melancarkan ide seperti pembentukan nation (bangsa) dan pemerintahan sendiri (self government). Lagi pula kesempatan ini tepat bagi rakyat untuk menyuarakan sendiri kemauan politiknya.
Aspirasi itu kemudian secara formal dirumuskan sebagai pernyataan prinsip-prinsip SI dalam kongres nasionalnya di bandung pada tahun 1917. Diantara pokok-pokok yang penting ialah: (1) agama islam adalah agama yang mengajarkan ide demokrasi, (2) agama islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan intelektual, (3) pemerintahan HB tidak perlu campur tangan dalam bidang agama dan hendaknya tidak membuat diskriminasi antara agama-agama, (4) rakyat perlu diberi kesempatan berpartisipasi dalam bidang politik.
Deklarasi prinsip-prinsip SI merupakan tanggapan tegas terhadap politik kolonial yang dipandangnya diskriminatif dan paternalistis pada satu pihak, dan pada pihak lain menegaskan pentingnya asas-asas agama Islam dalam pergerakan nasional, suatu pernyataan yang terutama ditujukan ke dalam untuk menjaga keutuhan tubuh SI.  
2.3 Kristalisasi Prinsip dan Benih – Benih Pilarisasi
Tahun 1921 merupakan tahun yang sangat menentukan, yaitu dalam kongres -kongresnya (Maret, Oktober, dan Desember) SI mempersoalkan disiplin organisasi dengan maksud membersihkan tubuh organisasi dari tubuh komunis. Dalam hal ini H. Agus Salim-lah yang mempelopori untuk menempuh garis tegas tersebut. Akhirnya pada tahun 1923 (Februari) di Madiun didirikan Partai Sarikat Islam dan sekaligus di tegaskan disiplin partai untuk menolak partai komunis. Untuk tetap mempertahankan pengaruhnya pada rakyat, Maka PKI mendirikan Sarekat Rakyat sebagai tandingan cabang – cabang lokal SI.
BO juga menghadapi politik agresif komunis yang antara lain telah berhasil memindahkan kedudukan pengurus Besarnya dari Surakarta ke Semarang pada tahun 1965. Hal ini merupakan suatu siasat yang baik bagi PKI karena dengan demikian BO ada dilingkungan yang penuh semangat radikal.
Sebelum itu kongres ditempat yang sama pada tahun 1919, gagallah usaha PKI untuk menjalin kerjasama yang erat hubungannya dengan BO. Usaha kedua kalinya dlam kongres di Surabaya pada tahun 1924 tidak berhasil juga. Yang menarik adalah bahwa di kalangan generasi muda lebih kuat kecenderungan untuk mendekati kaum radikal. Baik kewibawaan pemimpinnya maupun latar belakang sosio – kultur mayoritas anggotanya merupakan faktor penyebab penolakan kerja sama oleh BO itu.
Satu bidang yang tidak luput dari penggarapan kaum komunis ialah Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. Justru sekitar tahun 1920 gerakan bururh mendapatkan angin karena keadaan kehidupan rakyat dan kondisi kerja sangat memburuk. Namun rupanya organisasi – organisasi itu telah menyadari akan bahaya infiltrasi yang akan menyeretnya ke dalam gerakan ekstrem PKI. Oleh karena itu, dalam rapat sarekat buruh / kerja sentral di Yogyakarta (8 – 10 Juni 1921 ) Darsono terpaksa keluar dari organisasi sentral itu dan mendirikan badan sentral sendiri.
2.4 Polarisasi dan Radikalisasi 1918 – 1926
Pada akhir dasawarsa kedua perkembangan politik mengalami intensifikasi dan ekstensitas, tidak hanya karena ada peningkatan politik kolonial, tetapi juga karena ada peningkatan tuntunan politik serta meluasnya mobilisasi politik dikalangan rakyat. Tambahan pula tersedia kepemimpinan yang di jalankan oleh tokoh – tokoh yang menunjukkan integritas luar biasa.
Meskipun fokus aktivitas politik tetap ada pada organisasi pergerakan nasional, namun lewat saluran – saluran lain dilancarkan pelbagai aksi, seperti aksi pemogokan sarekat pekerja dan sarekat buruh, protes, deklarasi, dan lain sebagainya.
Di samping itu muncul aktivitas di bidang ekonomi, sosial dan budaya, seperti pendirian koperasi, sekolah – sekolah, kursus – kursus pusat latihan kesenian. Mulai disadari bahwa semua bidang kegiatan itu menjadi saluran yang berfungsi sangat instrumental untuk meningkatkan kesadaran nasional pada umumnya dan kesadaran pilitik khusunya. Hal ini lebih dirasakan manfaatnya terutama dalam menghadapi pembatasan kebebasan berbicara dan berkumpul serta pengekangan kegiatan antara pemimpin dan aktivitas pergerakan. Setiap bentuk solidaritas akan merupakan simbol politik seperti lazimnya pada manifesti kolektif.
Sejak dilancarkannya gerakan Indie Weerbaar yang segera disusul oleh kesibukan sekitar persiapan pembentukan DR ( Dewan Rakyat ), arena politik meluas sekali serta aktivitas politik menjadi sangat intensif. Permasalahan sekitar kedua hal itu menjadi fokus konflik politis tidak lain karena timbul pendirian pendirian yang antagonistis, yaitu pro dan kontra menurut aliran ataupun orientasi ideologinya. Spektrum politik benar – benar mencerminkan pluralisme dari masyarakat indonesia. Golongan sosialis dan komunis ada pada ujung tempat kaum radikal dan ekstrim kiri , sedang golongan BO ada di ujung tempat kaum moderat. Keduduka SI ada diantara golongan itu. Paling sedikit sampai tahun 1923 waktu itu ada larangan terhadap keanggotaan rangkap. Perkembangan dari tahun ke tahun sejak 1918 menunjukkan kecenderungan ke arah orientasi radikal. Ada beberapa faktor yaang menyebabkannya:
1)      Dibidang politik di Eropa dampak pergolakan politik  pasca perang dunia I di Eropa pada umumnya dan di Negeri Belanda khususnya. Revolusi Oktober 1917 di Rusia yang disusul oleh gerakan revolusioner kaum sosial – demokrat Belanda yang dipimpin oleh Troelstra memberi inspirasi kepada unsur – unsur progresif di Indonesia yang bergabung dalam ISDV untuk menuntut pemerintahan sendiri dan perwakilan dengan hak – hak yang luas. Pidato Van Limburg Strium pada 18 November 1918 memberi angin kepada semangat revolusioner itu;
2)      Dibidang sosial – ekonomi, perang dunia I mengakibatkan kemacetan pengangkutan hasil perkebunan sehingga pengusaha perkebunan mengurangi produksinya dengan akibat banyak rakyat kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Penderitaan rakyat bertambah besar lebih – lebih gubernemen membebankan pajak yang lebih berat kepada rakyat. Kalau sejak 1920 ekonomi membaik karena produksi perkebunan mendapat pasaran yang baik sekali, kebijaksanaan gubernemen lebih condong membiarkan pengusaha yang memungut sebagian besar keuntungannya, sedang rakyat tetap ditekan dengan beban pajak serta hidup dalam kondisi yang merana;
3)      Proses politisasi lewat organisasi, kongres, media massa memperoleh rangsangan dari proses memburuknya kondisi sosial – ekonomi rakyat. Lewat garis organisasi serikat buruh dan serikat pekerja sekerja ada kesempatan untuk memobilisasikan rakyat tingkat bawah, karena statusnya sebagai komponen sangat fungsional dalam sistem produksi ekonomi kolonial. Sesuai dengan struktur ekonomi dualistisnya, ekonomi perkebunan sebagai tulang punggung politik eksploitasi daerah jajahan tetap menuntut tenaga kerja yang murah, sehingga dalam situasi ekonomi bagaimanapun kepentingan kaum pengusaha perlu dijamin, sedang kaum buruh sebanyak – banyaknya ditekan.
4)      Bertolak dari prinsip bahwa kepentingan kaum modal perlu di lindungi maka politik kolonial yang dijalankan oleh GJ Fock mau tak mau bersifat raksioner dalam menghadapi aliran – aliran politik serta segala manifestasinya seperti yang direalisasikan oleh organisasi – organisasi pergerakan nasional. Adalah suatu proses wajar apabila dalam hubungan penuh konflik kepentingan itu timbul peningkatan sikap reaksioner pada satu pihak dan radikalisme di pihak lain.
5)      Memburuknya kondisi hidup pada umumnya dan kondisi kaum buruh khususnya menciptakan iklim yang penuh kegelisahan serta keresahan dikalangan rakyat sehingga ada kecenderungan kuat mengikuti himbauan para pemimpin untuk aksi –aksi, antara  lain pemogokan. Sudah barang tentu pemimpin – pemimpin radikal ISDV, VSTP, PKI, sangat aktif dalam propaganda untuk melakukan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Secara terus – menerus mereka berusaha membawa organisasi ke arah radikalisme dan polarisme.

2.5 Tindakan Gubernemen Hindia Belanda Penuh Kekerasan
Dalam menghadapi aksi-aksi yang dilancarkan oleh organisasi-organisasi pergerakan nasional yang semakin gencar dan radikal itu, pemerintah kolonial merasa semakin terancam kedudukan serta otoritasnya sehingga tidak segan-segan melakuan tindakan tegas terhadap aksi-aksi tersebut.
Suatu manifestasi dari politik reaksioner seperti tindakan gebernemen HB terhadap ketiga pemimpin Indische Partij sehabis berkongres, yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan soewardi Soerjaningrat. Pidato yang diucapkan oleh Douwes Dekker   didepan muktamar itu secara pedas dan tajam mengkritik situasi masyarakat kolonial yang penuh ketidakadilan, perbedaan antar ras, ketimpangan sosial-ekonomi. Perundang-undangan yang sangat menekan, dan lain sebagainya. Tjipto mangoenkoesoemo memberi uraian tentang sejarah serta tata susila bangsa Jawa. Pada 18 Agustus 1913 keluarlah surat keputusan HB untuk mengintenir ketiga tokoh itu.
Tidak berbedalah nasib para pemuka golongan kiri, baik Belanda maupun Indonesia, yang satu per satu terkena aksi pembersihan pemerintah, antara lain dipecat dari pekerjaan atau di usir dari HB. Agitasi mereka menjadi kekuatan untuk memobilisasi rakyat kecil, termasuk kaum buruh yang merupaan kunci dari roda industri perkebunan. Mengingat kedudukan investasi modal di dalamnya sebagai tulang punggung sistem kolonial, maka pemerintahan HB sangat sensitif dalam hal ini sehingga cenderung untuk menindas setiap aksi ataupun gerakan kaum buruh. Kaum komunis semakin aktif dalam agitasinya dalam serikat buruh, antara lain karena disadari bahwa lewat aksi politik tidak ada hasil yang dicapai. Dalam pemerintahan Gubernur Jenderal Fock para pemukanya seperti Tan Malaka, Semaoen, Darsono secara berturut-turut dikenakan internering (1922-1923).
2.6 Peranan dan Pengaruh Perhimpunan Indonesia Dalam Pergerakan Nasional
Mengenai analisis tentang peranan PI lebih lanjut perlu diutarakan dua faktor yang turut menentukan orientasinya, yaitu:
1)     Sebagai unsur yang berasal dari kalangan aristrokasi, mereka menyadari bahwa generasi tua diperalat oleh penguasa kolonial untuk menekan dan mengeksploitasi rakyat sendiri, suatu peranan yang di mata mereka tidak pantas dan tidak akan mereka jalankan.
2)   Suatu ironi dalam perkembanagan elite disini ialah apa yang dicita-citakan oleh generasi tua justru di cemooh oleh generasi muda yang sekaligus menjadi counter elite.
Sikap politik para anggota PI di pengaruhi oleh kesempatan yang leluasa. Berkontak secara inisiatif dan terus menerus dengan tokoh – tokoh pergerakan nasional yang mengalami pembuangan di Negeri Belanda, sehingga dengan sendirinya membawa orientasi radikal atau paling sedikit progresif seperti kehadiran Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat dalam tahun belasan, kemudian Semaoen, Darsono dalam tahun dua puluhan. Pengalaman tokoh – tokoh itu tidak hanya secara langsung menambah informasi tentang keadaan perjuangan, tetapi pengaruh yang memancar dari tokoh – tokoh dengan kepribadian serta kepemimpinan yang menonjol memberikan inspirasi yang lebih besar kepada para mahasiswa, Sehingga kerelaan untuk menderita karenanya tidak luput meninggalkan kesan yang mendalam pada pribadi mereka.
Dengan deklarasi  prinsip – prinsipnya, PI sekaligus memainkan peranan sebagai barisan depan pergerakan nasional. Bertolak dari paham bahwa pada hakikatnya sistem kolonial mengandung pertentangan kepentingan antara penjajah dan yang dijajah, maka dalam pergerakan nasional perlu dipertajam dan ditekankan.
Kewibawaan PI itu terbukti dari langkah PKI untuk membuat kontak politik dengan PI yang menentukan bahwa:
1)       PKI mengakui dan tunduk kepada pimpinan PI serta berjanji tidak melkukan oposisi terhadap usaha-usaha PI;
2)       PI sebagai partai nasional bertanggung jawab penuh atas perjuangan nasional. Tetapi ternyata kemudian kontrak itu ditiadakan oleh Semaoen pada tahun 1926.
Dikalangan internasional, PI memainkan peranan serta melakukan propaganda bagi perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme , antara lain dengan menghadiri pertemuan dari perkumpulan Studi Peradaban di Paris (1925), dan kemudian rapat Liga Anti – Kolonialisme di Brussel (1927). Suatu kontak yang sangat penting ialah dengan All Indian National Congress yang memegang peranan penting dalam perjuangan bangsa india melawan kolonialisme Inggris.





BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sekitar tahun 1915 dan 1916 organisasi utama seperti SI dan BO pada umumnya bersikap lunak dan loyal terhadap gubernemen Hindia Belanda maka dalam tahun-tahun berikutnya tumbuhlah sikap politik yang semakin radikal, semata-mata sebagai kelakuan reaktif terhadap politik kolonial yang semakin bertentangan dengan politik etis, sedangkan Elite baru mempunyai keterampilan politik tanpa memakai paksaan atau perintah. Para pemimpin BO telah mendapat kesempatan memperoleh keterampilan berorganisasi dan perluasannya, ialah keterampilan politik. Merekalah yang paling terlatih dan berpengalaman pada masa perkembangan politik yang mulai memerlukan kepemimpinan jenis baru.
Peranan Perhimpunan Indonesia dalam pergerakan nasional yakni dengan deklarasi  prinsip – prinsipnya,  PI sekaligus memainkan peranan sebagai barisan depan pergerakan nasional. Bertolak dari paham bahwa pada hakikatnya sistem kolonial mengandung pertentangan kepentingan antara penjajah dan yang dijajah, maka dalam pergerakan nasional perlu dipertajam dan ditekankan. Dikalangan internasional, PI juga memainkan peranan serta melakukan propaganda bagi perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme.

           



DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional jilid II. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 1999.
Marwati Djoened Poesponegoro: Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V. Balai Pustaka. Jakarta, 2008.
Mohamad Sidky Daeng Materu, S.H, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Gunung Agung. Jakarta, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar