Jumat, 12 Desember 2014

Hubungan Kehidupan Kekotaan pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia (1900-1942)



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kota pada zaman sebelum kemerdekaan dulu merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan kegiatan negara yang lain. Namun, luas kota dahulu tidak seluas kota seperti sekarang. Akan tetapi pola pemukiman bersifat pluralitas. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu di kota banyak penduduk yang berdatangan dari berbagai daerah dan dari luar negeri yang masing-masing mempunyai pola kebudayaan yang berbeda-beda.
Pada abad ke-19, terdapat kota-kota disepanjang pantai utara Jawa dan dipedalaman, antara lain Banten, Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, Panarukan, dll. Sebagian kota tersebut tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan dan pada umumnya hanya merupakan pusat kedudukan pemerintahan daerah.
Dalam pembahasan kali ini akan dibahas tentang Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional.

1.2  Rumusan Masalah
1)      Bagaimana Perkembangan Kota sekitar Tahun 1900?
2)      Bagaimana Restratifikasi Masyarakat Kota Pada Masa  Pergerakan Nasional?
3)      Bagaimana Stratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan  Nasional?
4)      Bagaimana Latar Belakang Munculnya Golongan-Golongan Sosial Pada Masa Pergerakan Nasional?
5)      Bagaimana Perkembangan Segmentasi Sosio Kultural Pada Masa Pergerakan Nasional?
6)      Bagaimana Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional?

1.3  Tujuan Penulisan
1)      Untuk mengetahui Perkembangan Kota sekitar Tahun 1900;
2)      Untuk mengetahui Restratifikasi Masyarakat Kota Pada Masa  Pergerakan Nasional;
3)      Untuk mengetahui Stratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan  Nasional;
4)      Untuk mengetahui Latar Belakang Munculnya Golongan-Golongan Sosial Pada Masa Pergerakan Nasional;
5)      Untuk mengetahui Perkembangan Segmentasi Sosio Kultural Pada Masa Pergerakan Nasional;
6)      Untuk mengetahui Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional.

1.4  Manfaat Penulisan makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik berupa tambahan pengetahuan serta wawasan kepada pembaca tentang “Hubungan Kehidupan Kekotaan pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia (1900-1942)”, dan juga semoga memberikan manfaat bagi penulis sendiri.





BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Perkembanagan Kota- Kota Pada Masa Pergerakan Nasional  Sekitar Tahun 1900

Sampai abad ke-19 sebagian kota tidak mengalami perkembangan yang berarti. Kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan dan pada umumnya hanya merupakan pusat kedudukan pemerintahan daerah. Tipe kota kabupaten digambarkan tidak banyak berbeda dengan lingkungan pedesaan sekitarnya, hanya dalem (rumah) bupati dan sekitarnya yang menonjol. Bangunan-bangunannya rapat satu sama lain. Bentuk bangunan rumah, kebanyakan masih tradisonal, hanya lambat laun bangunan gedung loji atau villa bermunculan kemudian. Dengan perkembangan penduduk eropa, yang bersamaan dengan perluasan sistem pemerintah kolonial lengkap dengan birokrasinya, wajah kota-kota mulai berubah. Pusat kota terutama terdiri atas gedung-gedung pemerintahan dan kediaman pejabat.
Kabupaten menghadap alun-alun dan disekitarnya terdapat rumah asisten residen atau kontrolir gedung pengadilan, rumah penjara, gudang garam, kantor pos dan telepon serta rumah pejabat- pejabat, baik eropa maupun pribumi.
Pusat kegiatan ekonomi jaman kuno berkisar disekitar pasar yang berfungsi sebagai penampung transaksi dengan daerah sekitarnya, kecuali pemasaran hasil bumi dari pedesaan diperdagangkan pula barang-barang kebutuhan rakyat. Di kabupaten, kegiatan ekonomi itu lazimnya diadakan dua kali setiap lima hari pasaran. Dalam satu kompleks dengan pasar terdapat pertokoan yang pada umumnya terkenal sebagai pecinan sekaligus  menjadi tempat pemukiman golongan cina. Dalam tata guna tanah kota sangat wajar apabila kompleks pertokoan dan pasar terletak di pinggir jalan raya kota.
Lokasi pusat lalu lintas baru timbul dengan dibangunnya jalan kereta api sejak 1870, yaitu stasiun kereta api berikut gudang-gudang, warung-warung, dan rumah penginapan.
Gedung-gedung sekolah terdapat pada peta kota, baru muncul kemudian mengikuti laju perkembangan sistem pengajaran sejak akhir abad ke-19. Perkembangan ekonomi pada akhir abad ke-19 yang ditopang mempunyai dampak pada pembangunan infrastruktur seperti komunikasi, edukasi, dan birokrasi menjadi perangsang urbanisasi. Kota-kota sebagai pusat pelayanan, kemudahan perdagangan, dan kedudukan penguasa, menjadi pemukiman pendatang yang berasal dari daerah lain atau daerah pedesaan. Setengahnya sebagai pegawai atau pejabat, dan setengahnya lagi sebagi tenaga upahan, baik dengan atau tanpa keterampilan.
Dipinggiran kota terdapat makam, tempat penyembelihan hewan, bangunan pelayanan umum yang memerlukan tanah agak luas yang didirikan pada tingkat perkembangan kota kemudian, seperti rumah sakit, sekolahan, lapangan olah raga, dls.
Pola pemukiman kota menunjukkan jelas-jelas sifat pluralistis masyarakat indonesia. Kompleks rumah tembok (loji) dengan halaman luas dipemukiman golongan eropa dan elite pribumi, pecinan dengan bangunan yang padat dan rapat satu sama lain, kemudian kampung dimana terutama kaum pribumi tinggal, yang biasanya merupakan kontras dengan daerah lainnya, baik kualitas bangunannya maupun sistem sanitasinya.
Daerah pemukiman (wijk) eropa secara fisik menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kampung atau pecinan , lagi pula lokasinya lebih banyak di periferi kota, dimana lingkungan belum terkena polusi kota. Bangunan rumah pada umumnya termasuk tipe villa, yang oleh rakyat disebut loji (loge). Tata ruang disesuaikan dengan iklim panas, ruangan-ruangan berdinding tinggi dan pintu serta jendela besar-besar dan tinggi pula. Keteduhan dijaga dengan adanya halaman dan kebun disekitar gedung. Daerah ini dihuni ekslusif oleh bangsa eropa dan apabila terdapat penghuni pribumi atau cina, maka hal itu merupakan kekecualian dan mereka lazimnya termasuk kelas atas. Kebersihan kota dijaga ketat sehingga menambah keindahan wilayah.

2.2 Restratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan Nasional

Sebagai dampak dari perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru sesuai dengan diferensiasi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintahan. Banyak fungsi yang memerlukan kejuruan atau keahlian teknologi seperti yang dibutuhkan dalam pembangunan industri, pertanian, insfrastruktur,berbagai kedinasan bagi bermacam-macam pelayanan masyarakat. Hal itu wajar dalam evolusi sosial pada fase menginjak konmersialisasi, Industrialisasi dan birokratisasi. Sekaligus terciptalah golongan profesional yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi sosial masyarakat tradisional.
Berdasarkan sistem rezim kolonial, sistem kekuasaan bersifat heirarkis-feodal dengan bertulang punggung pegawai Binnenlands Bestuur (BB) atau pangreh praja. Kekuasaan kolonial tidak memperlemah golongan itu, bahkan dalam banyak hal memperkuat  sehingga timbul semacam enfeudalisasi. Dalam konteks itu pembentukan berbagai kedinasan pada tingkat kabupaten memang membatasi wewenang bupati, berbagai fungsi teknis diserahkan kepada para tenaga teknis yang profesional. Kepemimpinan yang monomorfik terbatas pada bidang spesialisasi teknis nya dan munculnya golongan profesional itu mengurangi kepemimpinan bupati yang polimorfik sifatnya. Meskipun demikian otoritas tertinggi diwilayah kabupaten tetap ada pada bupati.
Ada usaha-usaha untuk membuat hierarki kepangkatan bagi para profesional sesuai dengan hierarki dalam BB seperti pangkat mantri, asisten wedana, wedana, bupati. Bagi rakyat kesejajaran pangkat tersebut memudahkan penentuan posisi sosial pejabat. Dalam administrasi pemerintahan yag lebih penting ialah kualifikasi penjabat serta conduite-nya dalam melakukan tugasnya untuk kenaikan pangkatnya, yang jelas hal itu tidak tergantung lagi pada bupati.
Suatu kenyataan bahwa baik menurut pendidikan yang diperolehnya maupun posisi sosial yang ditempatinya, para profesional banyak sedikitnya mampu melakukan liberasi terhadap keterikatan tradisional dan feodal sehingga mempunyai ruang gerak sosial yang lebih luas.
Dalam hal ini, selama bekerja dia mendapat kesempatan bergaul dengan teman-teman dari daerah dan kebudayaan lain sehingga ia dapat memperluas pandangan  hidup dan relasi yang luas pula. Dengan cara inilah dapat kita jumpai hubungan-hubungan baru yang jauh melampaui ikatan primodial, seperti hubungan keluarga, suku, suatu proses yang akan semakin melembaga sebagai pola hubungan baru dan kemudian berkembang menjadi jaringan sosil sehingga terciptalah ruang sosial, dimana integrasi nasional secara lambat laun terbangun. Dalam konteks inilah, perlu ditempatkan pertumbuhan organisasi-organisasi pergerakan nasional.

2.3  Stratifikasi Sosial Masyarakat Pada Masa Pergerakan Nasioanal

A)    Stratifikasi sosial
Di sini elite administrasi ataupun birokrasi di kota-kota kabupaten merupakan golongan yang berprestise, berkedudukan ekonomis baik, serta memiliki cukup kekuasaan. Inti golongan ini adalah para pejabat pangrah praja ( Binnenlands Bestuur) dengan bupati pada puncak hierarki birokrasi, disusul oleh patih, wedana, asisten wedana, mantri-mantri, juru tulis. Sudah tentu tingkat kepangkatan serta pendapatan memungkinkan penghayatan kehidupan menurut gaya tertentu: rumah, perabot dan halamannya, pakaian, makanan, rumah tangga dan pembantu-pembantunya, hiburan, lambang-lambang status, seperti: payung, alat senjata, pusaka, dls yang kesemuannya mencerminkan status seseorang. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur gaya hidup itu mewujudkan status priyayi beserta etosnya tersendiri, di Pasundan status menak, di Aceh Hulubalang, dan seterusnya.
Sejajar dengan tinggi rendahnya tingkat kepangkatan maka ada pembedaan antara priyayi gedhe dan priyayi cilik. Di samping itu masih terdapat golongan bangsawan (udara-udara) yang terdiri atas orang-orang yang masih keturunan raja-raja sampai derajat keempat atau kelima. Kaum terpelajar yang telah memperoleh kedudukan dalam birokrasi pada umumnya juga hidup dengan gaya priyayi, dan dengan demikian mereka memperoleh status terhormat. Kaum intelektual kelas menengah baru muncul setelah perguruan tinggi mengeluarkan tamatan yang dengan derajat akademinya tidak masuk birokrasi, tetapi menjalankan profesinya secara swasta. Dari kalangan itulah muncul pemimpin-pemimpin gerakan nasional. Dalam hubungan ini perlu diutarakan bahwa dengan pendidikan tingkat menengah para dokter jawa pada umumnya ada dalam posisi sosial yang tidak terlalu terikat pada hierarki birokrasi feodalistis. Sehingga mempunyai ruang gerak lebih leluasa untuk menjalankan berbagai kegiatan, antara lain kegiatan politik.
Meskipun penetrasi sistem administrasi kolonial modern telah berjalan selama satu abad lebih, namun posisi para birokrat pribumi dalam pemerintah kolonial belum sepenuhnya didasarkan atas otoritas legal nasional. Melainkan masih banyak menunjukkan sifat-sifat feodalistis. Ini tidak lain disebabkan karena dukungan kekuasaan kolonial semakin memperkuat kedudukan para birokrat. Pada mulanya dukungan itu diberikan untuk membuat efektif segala usaha penarikan pajak serta pengawasan keamanan, namun kemudian para pejabat dapat memperluas wewenang mereka bagi keperluan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kedinasan.
Meskipun penetrasi sistem administrasi  kolonial modern telah berjalan selama satu abad lebihh, namun posisi para birokat pribumi dalam pemerintahan kolonial belum sepenuhnya didasarkan atas otoritas legal rasional, melainkan masih banyak menunjukan sifat-sifat feodalistis.

B)    Feodalisme
Dalam stuktur kekuasaan kolonial pada masa itu, kedudukan bupati dan birokrasi lainnya masih penuh otoritasisme. Oleh karena otoritas tradisional ternyata sangat instrumental bagi pelaksanaan pemerintahan kolonial, maka modernisasi birokrasi ke arah sistem legal rasional hanya terbatas pada masalah-masalah administatif saja.
Di samping itu gaya hidup priyayi dan elite birokrasi masih diliputi oleh tradisionalisme, sedang kehidupan sosial di kota-kota kolonial bersifat segmentaris sehingga sistem aparthid (tersendiri) memang tidak memerlukan banyak adaptasi kultural terhadap kehidupan barat.
Dalam pada itu pengajaran Barat sebagai saluran mobilisasi sosial secara vertikal menjaddi unsur utama yang diterima umum. Bersamaan dengan itu bahasa Belanda menjadi lambang status, tidak hanya berkaitan dengan tingkat pendidikannya, tetapi juga dengan derajat posisi sosialnya dalam masyarakat modern.
Politik kolonial Belanda yang nonasimilatif pada satu pihak membuat elite birokrasi condong pada konservatisme dan pada pihak lain dapat menghambat gerakan kemajuan menuju emansipasi.

C)    Emansipasi
            Dengan bertambah banyaknya jumlah pelakar pribumi di sekolah barat, khususnya dari kalangan priyayi, dunia barat dan peradabannya lengkap dengan sistem politik, sosial, dan ekonominya mulai lebih dikenal. Sangat mengesankan tingkat kemajuan yang telah dicapai di Barat, tambahan pula posisi sosial, Belanda yang sangat terpandang di mata bangsa pribumi itu menyebabkan timbulnya aspirasi-aspirrasi untuk mengadakan invasi atau modernisasi menurut model barat pada umumnya dan Belanda pada khususnya.
            Terbukalah pada presepsi mereka bukan hanya perbedaan-perbedaan tingkat dan gaya hidup pribumi dengan Belanda atau Eropa saja, melainkan juga serba keterbelakangan dan kuno ataupun kolotnya kehidupan tradisional itu. Myulai disadari perbedaan kualitas hidup antara gaya barat yang serba bebas dengan pola kehidupan tradisional yang penuh keterikatan. Trasisi mulai dipandang bukan lagi sebagai sesuatu yang wajar dan harus dijunjung tinggi, melainkan sebagai hambatan terhadap kemajuan.
2.4  Golongan-Golongan Sosial Pada Masa Pergerakan Nasional
Apabila di kota-kota pada umumnya para ulama telah masuk pada lingkungan birokrasi kolonial dalam fungsinya sebagai penghulu yang mengepalai administrasi dan upacara agama, di daerah pedesaan peranan tradisional mereka dikatakan masih utuh. Dapat ditambahkan bahwa dalam bagian kedua abad ke-19 peningkatan jumlah orang yang “naik haji” tidak hanya meningkatkan religiositas rakyat. Tetapi juga memperkuat kedudukan para haji, kyai, dan ulama. Dari sejarah abad ke-19 telah ditunjukan bagaiman rakyat pedesaan dapay di mobilisasikan dibawah pimpinan kharismatis elite religius itu dan melancarkan gerakan-gerakan petani yang lebih dikenal sebagai pemberontakan-pemberontakan.
1)              Elite Birokrasi
Stuktur kekuasaan dalam sistem politik kolonial seperti yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia bertulangpunggung birokrasi menurut model sistem tradisional. Ada hierarki ketat yang menjadi penyalur perintah dari atas ke bawah. Kedudukan raja di tampuk pimpinan diganti oleh penguasa kolonial, dan di samping itu trbrntuk suatu hierarki pejabat-penjabat administrasi Belanda yang berjalan pararel dengan hierarki pribumi. Sudah barang tentu cabang pangreh praja Eropa (Eropees Binnenlands Bestuur) berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan BB pribumi.
Kontak lewat media masa muncul, “penularan” ide-ide kemajuan mulia tersebar, dan akhirnya kesadaran tumbuh. Identifikasi dari sebagai “kaum maju” menunjukan bahwa aspirasi mereka mencapai kemajuan seperti yang telah diperoleh bangsa Barat khususnya lewat pelajaran. Dari tahun ke tahun berkembanglah kesadaran itu sehingga timbul kecenderungan struktural bagi kelancaran gerakan-gerakan sosial untuk mewujudkan aspirasi tersebut.

2)                  Priyayi Birokrasi dan Priyayi Profesional
Perkembangan masyarakat kolonial pada awal abad ke-20 telah mengalami dampak mobilitas kaum pribumi yang telah digerakkan oleh perluasan pengajaran. Mekipun masih ada pembatas-pembatasnya, hal itu bukan lagi menjadi hak istimewa aristokrasi lama (kaum ningrat). Memang semula ada anak-anak golongan ini yang masuk sekolah kejuruan, akan tetapi jumlahnya semakin berkurang. Oleh karena kedudukan golongan profesional serta penghasilannya termasuk rendah dibandingkan dengan kaum BB, maka status sosialnya dipandang rendah juga. Di sini terdapat garis pemisah antara priyayi birokrasi dan priyayi profesional. Yang disebutkan terakhir mencakup unsur-unsur baru (homines novi) yang lewat jenjang pendidikan yang daapt menduduki tingkat sosial lebih tinggi dari pada tingkat asalnya. Sewaktu Doktor Wahidin pada tahun 1906 berkeliling di Jawa, dia menghadap bupati-bupati dengan bersila dilantai. Doktor Tjipto Mangoenkoesumo melaggar larangandengan mengendarai kereta lewat dalem bupati. Perbedaan sosial itu menimbulkan frustrasi serta rasa dendam di kalangan priyayi profesional. Di kota-kota kecil hierarki birokrasi sangat ketat dan diperluas sampai luar kedinasan, maka pada umumnya pada priyayi profesional tidak ada jalan lain daripada menyesuikan diri, lebih-lebih karena mereka sebagai orang barumemandang tinggi nilai-nilai kepriyayian yang dipolakan menurut gaya hidup priyayi birokrasi mengingat otoritas bupati di tempat mak suasana kehidupan kota kecil diliputi oleh foedelisme yanh bertambat kuat. Diluar kedinasan interaksi hanya terbatas pada kesempatan formal seperti pesta-pesta keluarga. Disini masih berlaku solidaritas tradisional yang tidak terlalu mengadakan batasan-batasan status.

2.5  Perkembangan Segmentasi Sosio Kultural Pada Masa Pergerakan Nasional
Timbul hubungan sosial baru melalui sekolah dan pekerjaan, akan tetapi tanpa institutionalisme(pelembagaan) sukar dipertahankan dan dibuat kontinyu. Dengan adanya segmentasi sebagai hambatan struktural, maka ruang lingkup komunikasi pada umumnya terbatas dalam lingkup subkultural.
1.      Elite Agama
Ada juga unsur elite agama yang tinggal dikota, dimana komunitasnya merupakan semacam enclave tersendiri, yang lebih dikenal sebagai kauman atau kajen (tempat haji). Dibanyak kota pantai unsur itu diperkuat oleh hadirya pedagang-pedagang pribumi yang telah turun-temurun menjalankan perdagangan. Meskipun sama-sama mempunyai kedudukan sebagai ulama, sebagai unsur elite agama dikota mereka mempunyai orientasi hidup yang berbeda dengan para ulama pedesaan. Yang terakhir ini sering diberi ciri ortodoks, suatu konsepsi salah yang menjadi umum. Justru mereka telah banyak mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosio-kultural pedesaan sehingga sinkretisme meresap pula dalam ajaran pada elite religious pedesaan itu.
Dikota ulama lebih banyak dihadapkan pada berbagai pengaruh modernisasi. Lokal kekotaan mereka akan menentukan bagaimana reaksi yang mereka tunjukkan dalam menghadapi proses perubahan itu.
Agama sebagai kekuatan integratif mempunyai potensi besar untuk menghilangkan segmentasi, khususnya yang horizontal. Sebaliknya, dualisme kota-desa tetap merupakan hambatan besar bagi proses integrasi lewat agama.
Batas-batas otoritas legal rasional mudah dilampaui sehingga ekspansi birkrasi itu menjadi opresif bagi rakyat. Dalam menghadapi ekspansi itu sering rakyat mencari perlindungan dibawah otoritas kharismatis para elite agama.

2.      Orang Kecil
Menurut tradisi sudah dibedakan dua subkultur priyayi masyarakat daerah tertentu, umpamanya di Jawa antara desa dan kota di kolonial sendiri masih tampak jelas antara perbedaan golongan elite yang tinggal diloji dan orang kebanyakan atau orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung. Lazimnya perkampungan merupakan tempat tinggal penduduk lama dikota bersama dengan pendatang dari golongan nonelite atau paling-paling priyayi kecil. Ada pendatang yang berasal dari kota lain dan menjabat duatu pekerjaan dalam kedinasan atau bidang profesi tertentu. Pendatang dari desa merupakan tenaga buruh, pedagang kecil, pembantu Rumah Tangga, dsb. Pedagang pribumi lazimnya tinggal didaerah pertokoan bercampur dengan golongan cina. Di kota kabupaten sebagai kota pusat administrasi daerah atau kota pegawai tidak terjadi urbanisasi yang pesat. Kegiatan perdagangan terbatas sehingga tidak banyak mempengaruhi suasana kota itu.
Dalam keadaan yang seperti itu gaya hidup kota yang didasarkan atas struktur sosial beserta hierarkinya mempunyai cap ke-priyayian. Dan lagi peranan dan kedudukan bupati yang dominan serta hierarki birokrasi yang ketat menciptakan pola hidup yang feodalistik. Kecenderungan kearah enfeudalisasi tidak diimbangi oleh kekuatan sosial lain, oleh karena tidak ada golongan yang bebas posisinya pedagag cina memiliki status rendah dalam masyarakat pribumi, sedang golongan profesional pribumi kebanyakan telah mengikuti gaya hidup priyayi. Oleh karena itu, tidak ada ruang sosial bagi golongan yang ingin membebaskan diri dari struktur feodalistik itu. Suasana kota kecil juga menjadi faktor yang memperkuat tendensi itu. Sifat keterbukaan dan kebebasan sangat terbatas, hanya toleransi sebagai nilai kultural saja yang masih memungkinkan adanya penyimpangan dari pola umum.

3.      Golongan Belanda
Di beberapa kota kabupaten terdapat komunitas Belanda yang mempunyai pekerjaan di perkebunan atau perusahaan di daerah sekitar kota itu. Oleh karena ada diskriminasi ras, maka garis warna membuat komunitas itu hidup dalam isolasi tanpa kontak dengan masyarakat sekitarnya. Di samping kontak formal lewat saluran kedinasan hampir tak ada hubungan sosial, baik dibidang umum maupun dibidang kehidupan pribadi, seperti dilapangan olah raga, kamar bola atau soos. Dunia pribumi yang dikenalnya ialah kehidupan rumah tangga beserta para pembantu, koki,babu ataupun jongosnya. Dikamar bola ada kesempatan untuk bergaul bebas diantara mereka tanpa terlalu memandang kedudukan dalam masyaakat, bahkan tidak jarang elite pribumi diterima juga ditempat itu, antara lain bupati. Kesempatan pembauran seperti itu tetap merupakan kekecualian dan langka sekali.

2.6  Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Munculnya Pergerakan Nasional

Pengaruh kebudayaan Barat yang diterima masyarakat Indonesia seringkali disebut proses westernisasi. Pengaruh westernisasi pada umumnya berlangsung melalui jalur pemerintahan dan pendidikan. Proses westernisasi ini sangat jelas terlihat di kalangan bangsawan dan birokrat pribumi. Kehidupan yang dipengaruhi kebudayaan Barat sangat jelas terlihat pada kehidupan perkotaan. Kota sangat terlihat majemuk kehidupan masyarakatnya. Oleh karena pusat-pusat perkotaan baru banyak yang terbentuk karena adanya kepentingan pemerintah kolonial, maka jelas budaya kolonial yang paling kelihatan. Masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan dunia pendidikan bangsa Indonesia. Sebelum pemerintahan kolonial berlangsung, sistem pendidikan Indonesia sangat tradisional. Pusat-pusat pendidikan hanya berada di lingkungan istana dan pusat keagamaan (pesantren). Kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan pendidikan juga sangat terbatas pada keluarga bangsawan.
Namun, pada akhir abad ke-19 terjadi kemajuan pada dunia pendidikan Indonesia. Meskipun awalnya hanya untuk memperoleh tenaga administrasi rendahan dan murah, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai mengembangkan pendidikan. Di beberapa pusat kota baru, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membuka sekolah-sekolah. Meskipun awalnya yang boleh bersekolah adalah anak-anak priayi, ini merupakan langkah baru bangsa Indonesia untuk memperoleh pengetahuan baru. Perkembangan pendidikan di Indonesia menunjukkan gairah setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda melaksanakan kebijakan Politik Etis. Salah satu kebijakan Politik Etis adalah mengembangkan pendidikan (edukasi) di Indonesia. Meskipun sekolah-sekolah masih terdapat di kota-kota tertentu, pengaruhnya sangat luas dan kelak menjadi awal lahirnya Pergerakan Nasional Indonesia.
Inilah titik awal peranan kota dalam memunculkan semangat kebangsaan Indonesia sehingga melahirkan organisasi Pergerakan Nasional Indonesia. Kehidupan masyarakat kota pada umumnya sangat dinamis dibandingkan kehidupan desa. Kota menjadi tempat bertemunya berbagai jenis budaya, adat-istiadat, dan ras manusia yang berbeda. Apalagi di kota tersebut terdapat tempat-tempat yang menarik untuk didatangi. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda salah satu yang menjadi daya tarik orang mendatangi suatu kota adalah adanya sarana pendidikan (sekolah). Dengan bersekolah terbuka peluang bagi seseorang untuk mengubah status sosialnya. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan menjadi sarana penyadaran nasionalisme Indonesia.


BAB 3. PENUTUP

3.1              Simpulan

Kota pada zaman sebelum kemerdekaan dulu merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan kegiatan negara yang lain. Namun, luas kota dahulu tidak seluas kota seperti sekaranag. Akan tetapi pola pemukiman bersifat pluralitas. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu di kota banyak penduduk yang berdatangan dari berbagai daerah dan dari luar negeri yang masing-masing mempunyai pola kebudayaan yang berbeda-beda.
Sebagai dampak dari perkembangan pengajaran di Indonesia tumbuhlah golongan sosial baru sesuai dengan diferensiasi serta spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintahan. Banyak fungsi yang memerlukan kejuruan atau keahlian teknologi seperti yang dibutuhkan dalam pembangunan industri, pertanian, insfrastruktur,berbagai kedinasan bagi bermacam-macam pelayanan masyarakat. Hal itu wajar dalam evolusi sosial pada fase menginjak konmersialisasi. Industrialisasi dan birokratisasi. Sekaligus terciptalah golongan profesional yang sebagai golongan sosial baru tidak mempunyai tempat pada strata menurut stratifikasi sosial masyarakat tradisional.
Proses urbanisasi sebagai dampak proses birokratisasi, komersialisasi, dan modernisasi pada umumnya menciptakan konsentrasi penduduk yang berasal tidak hanya dari daerah sekitarnya, tetapi juga dari tempat-tempat jauh di berbagai penjuru Indonesia, sehingga terciptalah jaringan hubungan sosial baru yang berbeda sifatnya dari hubungan sosial yang didasarkan atas ikatan komunal, seperti hubungan desa, keluarga, suku dll. Komunitas-komunitas dikota-kota menjadi lazim terdiri atas untuk-unsur profesional dan okupasionalyang mengelompok menurut bidang pekerjaan masing-masing khususnya, serta menurut status sebagai pejabat pada umumnya.
Masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang begitu lama telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh sosial dan budaya Barat serta kemajuan ekonomi di Indonesia telah mengubah dan membentuk pola kependudukan di Indonesia secara modern. Salah satu dampaknya, di Indonesia mulai lahir desa-desa dan kota-kota modern menggantikan ibu kota kerajaan menjadi pusat kegiatan masyarakat Indonesia. Kota-kota baru pada umumnya sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan pusat-pusat perkebunan. Namun, pada akhir abad ke-19 terjadi kemajuan pada dunia pendidikan Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA


·         Budi Utomo,Cahyo.1995.Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
·         Ramona. 2010. Pergerakan Nasional di Indonesia. http://www.PergerakanNasionaldiIndonesia.html.
·          Ageng.2011.Hubungan Kehidupan Kekotaan dengan Muncul dan Berkembangnya Pergerakan Kebangsaan Indonesia. http://www.hubungankekotaandengan munculnya pergerakan kebangsaan indonesia.html.



1 komentar:

  1. Hubungan Kehidupan Kekotaan pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia (1900-1942)

    BalasHapus